BANYUWANGI, Jawa Pos Radar Banyuwangi – ETAPE pertama penyusuran Sungai Kalilo diawali dari muara Boom, tepatnya di bawah Sasak Gantung, Lingkungan Kampung Ujung, Kelurahan Kepatihan. Dua belas anggota tim ekspedisi Susuka ”terjun” ke sungai yang membelah kota Banyuwangi.
Dari arah timur, tim berjalan menyusuri sungai dengan finis di bawah jembatan Continental, Jalan Pierre Tendean, Lingkungan Lebak, Kelurahan Kepatihan. Kami rela berbasah-basah untuk mendapatkan persoalan krusial pemicu banjir yang melanda kota Banyuwangi belum lama ini.
Ujung muara terlihat kumuh. Sampah rumah tangga dan plastik bercampur menjadi satu. Sampah-sampah tersebut berasal dari sisa banjir serta kurangnya kesadaran masyarakat dalam merawat dan menjaga aliran sungai. Sebagian warga yang tinggal di bantaran sungai kadang seenaknya melemparkan sampah terbungkus tas kresek ke sungai.
Meski begitu, air sungai yang mengalir ke Selat Bali itu tak begitu kotor. Kedalaman sungai pada kondisi normal juga tidak membahayakan. Paling dalam seukuran pinggang orang dewasa. Aliran sungai juga tak begitu deras. Pada titik-titik tertentu arus bawah sungai cukup kencang. Kalau kurang hati-hati berjalan bisa terseret arus.
Muara yang seharusnya bersih dipenuhi genangan air, justru tampak seperti padang ilalang. Tim harus melompat-lompat untuk melewati aliran sungai kecil yang terbentuk dari sedimentasi tanah di muara. Di sisi sungai, pemandangan tumpukan sampah yang menggenang karena tertahan sedimen mulai terlihat. Air juga tampak keruh, kemungkinan karena membawa material tanah dan lumpur.
Di tengah sungai, ada akar besar yang kemungkinan terbawa dari hulu saat banjir tiba. Untungnya, sedimentasi yang ada di sisi utara Kalilo cukup panjang. Jadi, masih bisa digunakan tim ekspedisi untuk berjalan tanpa perlu turun langsung ke tengah sungai.
Setelah berjalan kurang lebih 20 meter, aktivitas warga di pinggiran sungai pertama mulai terlihat. Di sepanjang bantaran sungai banyak permukiman padat penduduk. Sisi utara masuk Kampung Ujung, Kelurahan Kepatihan. Sedangkan sebelah selatan masuk wilayah Kelurahan Karangrejo. Sudah bertahun-tahun lamanya warga hidup di pinggiran sungai yang dibatasi tangkis setinggi 2 meteran.
Ketika tim ekspedisi melintas, sebagian warga terlihat mencangkuli sedimen tanah di pinggir sungai untuk membentuk cerukan. ”Saya membuat jalur air. Maklum di sekitar rumah air menggenang sehingga tak bisa keluar,” ujar Sucipto, warga RT 4 RW 3, Lingkungan Kampung Ujung.
Banjir yang terjadi Jumat lalu (10/2), kata Sucipto, cukup dahsyat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kalilo meluap. Airnya menerobos tangkis dan masuk ke area permukiman. Pendangkalan Kalilo memudahkan air naik melewati tangkis.
Kalau sudah seperti itu, warga hanya bisa melakukan langkah cepat dengan menyelamatkan perabot rumah tangga, barang elektronik, dan dokumen berharga lainnya agar tidak terjangkau air. Selanjutnya, warga berlari ke daerah yang lebih tinggi sampai menunggu air surut.
”Ada ratusan warga yang tinggal di pinggir sungai. Banjir selama tiga hari berturut-turut mengakibatkan air masuk ke rumah,” kata Sucipto yang hanya mengenakan celana pendek kolor.
Apa yang dialami Sucipto, hampir dirasakan oleh semua warga Lingkungan Kampung Ujung yang rumahnya berdiri tepat di bibir Kalilo. Air meluap melewati tangkis dan masuk ke dalam rumah. Seperti yang dialami Suharsono. Jendela belakang rumahnya hanya berjarak sekitar 20 sentimeter di atas tangkis.
Banjir yang terjadi selama tiga hari pada Jumat, Sabtu, dan Minggu (10–12 Februari 2023) membuat semua perabotan di dalam rumah basah kuyup. Bagaimana tidak, air masuk sampai setinggi 1,5 meter. Bahkan, masih banyak spon kursi dan kasur yang belum benar-benar kering akibat kejadian tersebut.
”Belum pernah kita dihajar banjir seperti ini. Hari Jumat yang paling parah. Sabtu dan Minggu airnya juga besar. Sepertinya plengsengan sungai harus ditinggikan lagi untuk menahan luapan air,” usul Suharsono.
Di sepanjang sungai, ada beberapa titik yang terasa dangkal karena tumpukan sedimen tanah. Tapi, ada juga sisi yang lebih dalam. Bagian yang dalam, saat diinjak terasa sekali banyak material bebatuan. Kedalamannya sekitar satu meter, mungkin itulah ukuran sebenarnya kedalaman Kalilo yang memiliki lebar 25 meter tersebut.
Warga di bantaran sungai sebenarnya juga berupaya melakukan pencegahan agar dampak luapan air sungai tak semakin parah. Bowo, salah satunya. Warga Kampung Ujung itu mengaku sudah berupaya melakukan pembersihan. Selain membersihkan sampah, dia juga membersihkan beberapa sedimen tanah. Namun, kerja kerasnya tidak banyak berarti ketika luapan sungai Kalilo semakin besar.
”Saya coba bersihkan pelan-pelan sampah dan tanaman yang tumbuh di atas sedimen. Sebagian warga kita ajak supaya tidak membuang sampah sembarangan. Tapi sedimennya terlalu parah, kalau sudah banjir air tetap meluap,” ungkap Bowo.
Selama penyusuran berlangsung, tim ekspedisi melihat sedikit perbedaan perilaku antara warga yang tinggal di sisi utara Kalilo (warga Lingkungan Kampung Ujung) dan warga yang tinggal di sisi selatan (warga Kelurahan Karangrejo). Saat penyusuran berlangsung, masih ada satu dua orang yang melempar sampah dari sisi selatan. Sedangkan dari sisi utara, warga tampak lebih berhati-hati menjaga sungai.
Menurut Bowo, hal itu karena warga di sisi utara sungai sudah merasakan dampak langsung ketika lingkungan tidak terjaga. Sedangkan di sisi selatan, tidak pernah merasakan luapan sungai.
Padahal, Bowo melihat tangkis di sisi selatan sebenarnya mengalami banyak kerusakan. Banyak rongga-rongga di bawah tangkis, yang jika tidak segera ditangani, bisa merobohkan bangunan di atasnya. Bahkan, ada salah satu titik tangkis yang rongga di bawahnya dihuni ular-ular besar jenis sanca.
Ular-ular itu beberapa kali dilihat Bowo berenang dari arah muara sebelum masuk ke dalam lubang besar sisi selatan. ”Ada yang sempat mau masuk ke permukiman, lalu diusir warga, terus kembali ke rongga. Sempat mau diambil, ternyata waktu ditarik ekornya, ularnya besar. Panjangnya sekitar 2,5 meter, anak-anak tidak berani,” ucapnya.
Secara umum, kondisi Kalilo sebenarnya masih cukup bersih. Warna cokelat air dan sampah di sungai itu masih tergolong normal. Juru pengairan wilayah Kalipuro, Deni Hermawan yang ikut dalam ekspedisi melihat kondisi sungai di sisi utara mendekati muara mengalami sedimentasi yang cukup parah.
Lebar sedimentasi sekitar 5 meter dari total 25 meter lebar sungai. Sedimen memiliki panjang sekitar 200 meter dari muara ke arah sungai. ”Sedimentasinya sudah tebal sekali. Meskipun ada 200 meter tangkis yang memiliki space jalan dengan permukiman, tapi air tetap meluap. Apalagi yang tidak ada space-nya. Air bisa langsung masuk ke permukiman,” kata Deni.
Lain halnya dengan sisi selatan sungai yang memiliki tangkis dengan ketinggian yang bisa dibilang masih aman dari luapan air. Ditambah, tidak ada sedimentasi yang parah. ”Dari penyusuran tadi banyak tangkis yang berongga di bawahnya. Ini cukup berbahaya, apalagi ada satu dua bangunan yang posisinya menjorok ke sungai,” imbuh Deni yang begitu paham dengan topografi Kalilo.
Penyusuran Kalilo hari pertama sejauh 600 meter tersebut berhenti di bawah jembatan Lingkungan Lebak. Beberapa warga sudah menunggu dengan hidangan aneka gorengan dan kopi hangat. ”Kalau di Lebak, hampir setiap hujan lebat, sungai meluap, masuk ke permukiman. Ada 250 warga di Lebak, dulu hanya beberapa yang terdampak, sekarang hampir semua,” kata Tomhari, Ketua RT 2 RW 1, Lingkungan Krajan, Kelurahan Tukangkayu. (fre/aif/c1)