RADAR BANYUWANGI – Bumi Blambangan memang layak disebut gudangnya sanggar seni di Jawa Timur. Setidaknya, terdata 1.100 sanggar seni yang masuk dalam kartu induk di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Banyuwangi.
Ada berapa banyak sanggar kesenian yang tercatat oleh Disbudpar? Bagaimana cara mereka masih eksis di tengah perkembangan zaman modern ini?
Sekretaris Disbudpar Banyuwangi Choliqul Ridho mengungkapkan, di Kabupaten Banyuwangi terdapat ribuan sanggar kesenian. Setidaknya ada 1.100 kelompok seni yang memiliki kartu induk. ”Sampai saat ini kami masih melakukan verifikasi seribu sanggar kesenian,” ungkapnya.
Ribuan sanggar kesenian tersebut terdiri dari yang masih aktif dan pasif. Menurut Ridho, sanggar kesenian yang masih aktif berjumlah 746. Sedangkan sisanya dinyatakan pasif. Lalu apa kategori yang mengindikasikan sanggar tersebut aktif atau pasif?
Dijelaskan, sanggar aktif memiliki kegiatan latihan secara rutin. Mereka yang aktif juga terlibat pementasan di sejumlah lokasi. Baik tampil dalam acara lokal maupun tampil di luar daerah. Selain itu, mereka juga memiliki properti sendiri. ”Sedangkan sanggar yang pasif, tentunya tidak rutin melakukan latihan dan sepi akan kegiatan,” tutur Ridho.
Disinggung terkait proses pemilikan kartu induk, Ridho menjelaskan, kartu induk hanya berlaku untuk setiap jenis kesenian dan bukan untuk sanggar. ”Seharusnya setiap jenis seni memiliki kartu induk masing-masing. Sehingga, apabila dalam satu sanggar terdapat dua kesenian barong dan tari, maka setiap jenis kesenian itu harus memiliki kartu induk,” tegasnya.
Proses verifikasi kartu induk dapat dilakukan di masing-masing desa. Sehingga, pemerintah desa dapat memastikan, apakah sanggar tersebut benar-benar aktif atau tidak.
Kecamatan yang memiliki jumlah sanggar kesenian terbanyak di Banyuwangi yakni Kecamatan Srono dengan 80 sanggar. Disusul Kecamatan Banyuwangi dengan 70 sanggar seni. Lalu, Kecamatan Sempu dengan 69 sanggar seni, Kecamatan Rogojampi 67 sanggar seni, dan Kecamatan Cluring 65 sanggar seni.
Sementara jumlah sanggar per jenis kesenian juga beraneka ragam. Jaranan ada 381 kelompok, seni hadrah sebanyak 151 kelompok, orkes 167 kelompok, dan sanggar tari sebanyak 115 kelompok.
Pada sanggar tari tersebut yang aktif hanya sekitar 60 sampai 70 kelompok. Saat ini, kata Ridho, tari kontemporer menjadi atensi pihaknya untuk lebih dikembangkan. Namun, tetap berpatokan pada pakem budaya Banyuwangi.
Sementara itu, sanggar tari di Banyuwangi terbagi dalam tiga klasifikasi. Yaitu kelas A, B, dan C. Kelas A adalah sanggar tari yang sudah mandiri baik dari segi latihan, pementasan, dan properti, serta sering tampil ke luar negeri. Kelas B adalah sanggar tari yang masih bersifat lokal dan sering tampil dalam Banyuwangi Festival. Terakhir kelas C adalah sanggar tari yang tampil di tingkat desa dan tampil dalam kegiatan seperti acara pernikahan.
Untuk menjaga jumlah sanggar kesenian ini tetap atau bahkan bertambah, Disbudpar melakukan berbagai pembinaan. Pertama, melalui pendampingan perbaikan sanggar. Yaitu dari aspek latihan, kostum, dan kreasi tarian. Dalam pembinaan ini, Disbudpar dibantu oleh sanggar kesenian kelas A.
Kegiatan pembinaan kedua, yakni upaya pembinaan dalam penyediaan sarana dan prasarana yang dibantu oleh anggota DPRD Banyuwangi. ”Kami bersifat pembinaan, tapi penyediaan sarana dan prasarana itu anggarannya dari DPRD,” pungkas Ridho. (rei/bay/c1)