Risalah Secangkir Kopi
di kafe dan warung-warung pinggir kali
orang-orang membincang tentang nikmat kental manis kopi
yang dituang dan diseduh pada cangkir porselin
tapi tak ada yang bicara tentang
pohon-pohon yang mematangkan buahnya
merawat hitam paitnya dalam terik matahari
pun tak ada yang bercakap tentang sebatang tebu
yang merawat manisnya di panggangan waktu
hingga keduanya sama-sama tergilas di penggilingan
sedang dari keduanya tak ada yang mengunjuk diri,
”kental hitam itu adalah aku”
atau
”akulah manis nikmat pada kopi itu”
ketika penyair pergi usai memamah-kunyah inspirasi
kopi dan gula tak pernah merajuk
namanya tertulis di antara baris bait puisi
bahkan ia rela menjadi sekedar penyela waktu
bagi pejalan gelap dan kelelahan
yang buta arah ke mana hendak dituju
secangkir kopi yang menjelma seorang ibu
bagi tumpahan segala sengketa pikiran dan hati
tak membaptis diri
sebagai inang pengasuh penyair dan para pejalan
yang hilang peta menuju pulang
Magelang, 2021
————————————–
Pada Akhirnya
jangan sering-sering kau ajak aku pergi
karena aku hanya ingin jadi penikmat kopi
di warung-warung pinggir kali
mencuri dengar orang-orang menyusun teka-teki
pada kertas ramalan togel dan kartu remi
tentang mimpi mereka pada angka dan kartu mati
selebihnya biarlah aku menjadi pejalan senyap
di antara lalu-lalang itu
menyelinap pada riuhnya yang memekakkan nurani
jangan banyak-banyak kau beri aku cerita
tentang pukau pentas sandiwara
di panggung megah dengan kilau-kilau cahaya
karena aku telah memerankannya semua
dan akulah pelakon utama
atas segala kepura-puraan dan kepalsuan
sekarang aku ingin menjadi penonton bertopeng
dengan baju tidur dan kain sarung
sendirian mengambil tempat di keremangan paling sepi
jangan kau tawar-tawari lagi aku pesiar
ke mall dan pasar-pasar
yang memaksakan pilihan-pilihan yang bukan pilihanku
cukuplah sudah pesiarku pada gemulai diam rumput-rumput pagi
menjumputi mahkota embun yang mengelopak pada pucuknya
atau pada sungai-sungai kecil
menjaring alir dan riciknya pada batu-batu dan kerikil
atau pada gerimis malam yang menjamasi dedaunan
ditingkapi kekidung angkup dan belalang
dan diam-diam kusesapkan ke senyap hati
Magelang, 2021
————————————–
Malam Bukan Milik Siapa-siapa
ini malam
bukan milik siapa-siapa lagi
selagi hati tak mengenali bisiknya sendiri
ketika semua lelap dalam riuh sengkarut hidup
yang mengganas di palung-palung pikiran
maka tumpas sudah makna permenungan
tentang kelopak embun yang menyimpan rahasia langit
ini malam
bukan milik siapa-siapa lagi
setelah semua meninggalkannya pergi
rumput dan alang-alang bertasbih sendiri
hembus tiup angin berdzikir sendiri
pohon-pohon bertakbir tahmid sendiri
bukit-bukit berampun-ampun sendiri
gunung-gunung merukuk sujud sendiri
dan manusia menghambakan diri
atas berhala-berhala yang dipahatnya sendiri
dimuliakan di ketinggian menara napsu
ini malam
bukan milik siapa-siapa lagi
setelah tak ada lagi yang merasai detak nadi
sebagai alir sungai semesta bumi
tak ada lagi yang menghikmati batu-batu nisan
sebagai kepastian perjanjian akhir setiap perjalanan
dan tak ada lagi yang merawat sunyi
dengan mantra kidung paling senyap
Magelang, 2021
————————————–
Hujan di Sepertiga Malam
langit meruwat waktu
yang ditebali debu
aku meminjam ritusnya
menjamasi kerak kalbu
hujan menawariku tarian
aku memesan ampunan
atas berkarung usia yang
kuhabiskan di meja pesta
Magelang, 2021
Bukan Penyair
tak kutemukan nasabku
pada garis silsilah penyair
: aku tak terlahir
aku penjaga rumput liar
di luar pagar
agar tak jadi belukar
: tak kucerabut akar
bukan syair bukan puisi
hanya pewarta sunyi
dari kekisi hati
: biarlah menepi
Magelang, 2021
————————————–
Sketsa di Tepian Waktu
aku tidak tahu
angkup dan belalang yang bersahutan
di sela gerimis itu
tengah menyanyi ataukah mengaji
tapi kurasai hanyutku
di kedamaian yang
seteduh ini
aku tidak mengerti
diam angin dan dedaunan
di antara kepak kelelawar itu
tengah berdzikir ataukah bersujud
tapi kurasai larutku
dalam khusyuknya yang
membawaku pada-Nya
hingga sedekat ini
aku tak memahami
tarjamah pekik burung hantu yang
seperti mematuki dinding waktu
serupa ketukan rindu yang
minta dibukakan pintu
agar selekasnya bertemu
pengasuh jiwa piatu
Magelang, 2021
————————————–
Sajak untuk Isteri
mungkin benar waktu telah menua dan lapuk
tapi kita akan selalu menyemai gerimis pagi
pada kuncup dan kelopak kembang sepatu
dan melukisnya di daun pintu
tak apa di kamar tak ada kasur busa
karena aku tak ingin jejak tua itu melayu
maka kita musti selalu menyemai kembali
biji-biji bunga matahari sebelum datang pagi
aku lebih suka mengajakmu mengenang kembali
ketika dulu kita bersulang periuk kosong
tawar-menawar dengan dompet tak berisi
agar lebih mengerti makna setiap butir nasi
yang telah Tuhan sedekahkan setiap hari
jangan lupakan pahitnya brotowali
kita musti berulang-ulang meminumnya kembali
agar hati selalu bijak berhikmah
pada pisang goreng dan singkong rebus
di antara pizza dan sandwich yang tak pernah terbeli
Magelang, 2021
————————————–
DALADI AHMAD lahir di Sleman, Yogyakarta. Puisinya dimuat di beberapa surat kabar dan antologi. Juga menulis geguritan (puisi Jawa), dimuat di surat kabar dan majalah berbahasa Jawa. Sering memusikalisasi puisi di acara sastra/budaya. Musikalisasinya berjudul Sakauku memperoleh penghargaan juara III dari E-Sastra Malaysia. Bergiat di Sanggar Sastra Monthit, Magelang. Tinggal di Magelang.