BENARKAH tidak ada hal yang lebih menakutkan bagi manusia yang bernyawa, selain ketika jiwa harus berpisah dengan raga? Lantas apa yang akan dilakukan seorang anak Adam jika ia tahu kapan maut akan datang menjemput?
Dua puluh tahun lalu, aku dan ketiga sahabatku pernah nekat mendatangi rumah Mak Mar’ah, seorang dukun tua yang kesohor di kampungku, hanya karena ingin membuktikan apakah nenek tua itu benar-benar sakti seperti yang orang-orang katakan.
Kala itu, bulu kudukku seketika meremang, bahkan sejak pertama kali kaki kami menginjak rumah tua yang minim penerangan itu sebab hampir semua jendelanya tertutup rapat. Bau kemenyan menguar, memenuhi indra penciuman.
Aku dan ketiga temanku pun duduk di hadapan Mak Mar’ah.
”Ada perlu apa?” tanya wanita tua itu sambil meletakkan selembar daun sirih di tangan kirinya yang kemudian dibubuhi kapur, biji pinang, dan gambir. Ia lalu menggulung daun sirih itu, dan menggosok-gosokannya ke gigi hingga mulutnya terlihat memerah.
”Kami minta diramal, kapan kami akan meninggal,” ucapku dengan terbata-bata. Jujur, saat itu aku sangat takut. Sekujur tubuhku tiba-tiba saja terasa dingin. Aku yakin teman-temanku pun merasakan hal yang sama, tampak dari wajah mereka yang pucat pasi. Namun, kami sama-sama berusaha terlihat berani.
Mak Mar’ah hanya tersenyum. Ia kemudian melihat telapak tangan kami satu per satu. Aku dapat giliran pertama. Dukun tua itu mengusap-usap garis-garis yang ada di telapak tanganku, sambil sesekali melihat wajahku hingga mata kami beradu. Kemudian, Mak Mar’ah memejamkan mata, mulutnya komat-kamit seperti sedang membaca mantra. Entah, setelah itu aku tidak ingat lagi apa yang dukun tua itu lakukan. Satu hal yang tak pernah kulupakan hingga sekarang: Mak Mar’ah menyebutkan tanggal, bulan, dan tahun, yang ia yakini sebagai tanggal kematian aku dan ketiga temanku. Sungguh sebuah kekonyolan dari gadis-gadis bau kencur yang baru tamat SMA.
Sebelumnya, kami menganggap itu sebagai sebuah lelucon. Bahkan ketika Arum, salah satu sahabatku, tahun lalu meninggal di waktu yang sama seperti yang Mak Mar’ah bilang, aku masih menganggap itu hanya sebuah kebetulan saja.
Namun hari ini, Rahmi meninggal persis di waktu yang sama seperti yang dukun tua itu katakan, aku tidak bisa lagi bersembunyi dari rasa takut.
”Ucapan Mak Mar’ah terbukti lagi, Ti,” ungkap Fat tadi di sambungan telepon. Isak tangisnya terdengar memilukan. Bahkan suaranya bergetar, mungkin ia sama takutnya sepertiku. Kini, tinggal kami berdua yang tersisa. Lantas apa yang harus kami lakukan? Menanti saat itu tiba dalam kepasrahan? Atau bolehkan jika aku menganggap semua itu tak pernah ada?
Kabar buruknya aku nyata-nyata tak bisa bersikap biasa saja. Aku semakin tergulung dalam ombak ketakutan saat menyadari satu Juli 2019 itu tinggal empat hari lagi. Benarkan tubin nanti aku akan mati? Seperti yang dukun tua itu katakan? Mataku memanas bersamaan dengan hatiku yang terasa diremas-remas. Dadaku sesak, dibelenggu kepiluan yang terus mendesak.
”Ibu … Ibu! Ada-ada saja, percaya sama ramalan yang begituan! Musyrik, tahu enggak?” hardik suamiku ketika mendengar ceritaku tentang ramalan itu. Niat hati ingin sedikit berbagi beban, tetapi hanya cemoohan yang kudapatkan. Atau mungkin suamiku memang benar. Tidak seharusnya aku percaya pada ramalan itu. Bukankan kematian itu adalah rahasia Yang Mahakuasa?
Namun, sekuat apa pun aku berusaha melupakan semuanya, rasa takut itu terus saja ada. Sepanjang malam, aku tak pernah bisa terpejam. Kuhabiskan waktu untuk bermunajat, memohon ampun sebelum semuanya terlambat.
”Ibu masih percaya ramalan itu?”
Pertanyaan itu diucapkan suamiku dengan penuh penekanan, ketika aku memaksa kedua anak kami yang sudah beranjak remaja untuk tidur bersama.
”Bukan begitu, Pak.” Aku tersenyum. ”Ibu hanya sedang ingin tidur bareng-bareng saja. Sudah lama ’kan kita enggak tidur sekamar begini?” Suamiku terlihat menghela napas panjang. Ia bergeming saat aku memaksa anak-anak agar berbaring di sisi kanan-kiriku. Mereka terlihat risi. Aku tak peduli, sebab bisa jadi malam itu benar-benar malam terakhirku bersama mereka.
Malam semakin tua dan sunyi. Namun, aku terlalu takut untuk terpejam meski barang sedetik saja. Laiknya seorang terdakwa yang sedang menunggu vonis, jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Peluh membasahi sekujur tubuh. Maka ketika aku masih diberi kesempatan bertemu dengan fajar, segera kusiapkan sarapan terbaik untuk suami dan anak-anak. Kuperlakukan seisi rumah bagai raja dan ratu, meskipun mereka menatapku dengan penuh keheranan.
”Ibu lebay, deh!” kata putri sulungku saat aku melarang mereka yang meminta izin untuk berbelanja keperluan sekolah. Aku ingin suami dan anak-anak tetap berada di rumah. Setidaknya jika mereka ada aku tak akan terlalu takut saat malaikat maut benar-benar datang menjemput. Namun, mereka tetap pergi, meninggalkan aku seorang diri dalam perasaan gamang. Tak ada yang peduli.
Baru kali ini aku merasa bahwa setiap detik begitu berarti. Terik matahari masih terasa menyengat di kulit, aku menghela napas lega. Aku pun tak henti mengucap syukur kala masih diberi kesempatan untuk menikmati keindahan senja yang perlahan menghilang di kaki langit. Detik, menit, jam terus bergulir, hingga matahari dan rembulan pun sepakat untuk bertukar tempat.
Namun, sepertinya Tuhan masih ingin menguji keyakinanku atas semua ketetapan-Nya. Aku yang sedang berusaha meyakinkan hati bahwa semua akan baik-baik saja, harus kembali tenggelam ke dalam lautan kesedihan, ketika tiba-tiba angin datang bergemuruh membawa kabar yang membuat bumi seolah berhenti berputar saat itu juga. Mobil yang ditumpangi anak-anak dan suamiku mengalami kecelakaan dan mereka tak terselamatkan. Seketika langit pun runtuh tepat di atas kepalaku. Menguburku hingga masuk ke dasar bumi terdalam.
Ramalan itu memang tidak pernah terbukti, sebab hingga hari ini ragaku masih hidup. Namun, apa gunanya jika ternyata hatiku telah mati terkubur bersama jasad mereka yang lebih dulu pergi. Tak ada yang lebih menakutkan dan menyakitkan, selain melihat orang-orang yang dicintai pergi tanpa permisi. (*)
———————
*Teni Ganjar Badruzzaman, alumnus Sekolah Farmasi Bumi Siliwangi Bandung. Cerpen dan cernaknya dimuat pada beberapa media dan antologi bersama. Saat ini mukim di Bandung, Jawa Barat.