27.2 C
Banyuwangi
Friday, June 2, 2023

Oleh: ILHAM AGUS BACHTIAR*

Merekognisi Pola Pendidikan sebagai Akar Kasus Perundungan

ADA suatu ungkapan yang mengatakan akar yang tak kokoh menopang, dapat dipastikan pohonnya pasti tumbang. Dapat dilihat hal serupa sedang marak terjadi di sekeliling kita. Yang dewasa ini, jagat medsos sempat ramai memperbincangkan kasus perundungan anak, yang juga terjadi di Banyuwangi.

Sebut saja kasus bunuh dirinya seorang anak SD diduga lantaran dirundung dari teman-temannya. Tak dapat dielakkan, kasus tersebut tentu menarik perhatian para elite sosial untuk ikut menjulurkan lidah menuai beragam komentar. Pasalnya juga terdapat polemik antar pihak terkait kasus perundungan tersebut.

Sejumlah pihak mengatakan, peristiwa tersebut di latar belakangi faktor bullying antar teman. Sedangkan pihak sekolah menyanggah, dengan berdalih hanya disebabkan faktor saling ejek antar teman, tidak sampai ke taraf perundungan.

Terlepas itu semua, sebenarnya di samping faktor pemicu kasus perundungan anak adalah sebab faktor lingkungan keluarga, pergaulan, mental bawaan, ternyata Pendidikan di sekolah merupakan akar faktor yang memiliki pengaruh besar dalam ada atau tidaknya kasus perundungan. Mengapa­, karena dengannya edukasi moral atau budi pekerti, yang dalam hal ini sebagai langkah preventif terhadap kasus perundungan lebih intens diajarkan daripada selain lingkungan sekolah.

Bicara mengenai pendidikan moral atau budi pekerti, baik dari jenjang SD sampai SLTA, pastinya lebih mengarah pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI). Karena muatannya di satu sisi tentang etika pada Tuhan, di sisi lain juga banyak tentang penanaman etika sosial kehidupan.

Namun realitanya, masih banyak ditemukan perilaku siswa yang justru bertentangan dengan apa yang telah diajarkan. Seperti siswa terbiasa melakukan perundungan, perkelahian dan sebagainya, tanpa menghiraukan nilai pendidikan yang telah ia emban. Akibatnya, peran serta efektivitas pendidikan agama di sekolah sebagai pemasok nilai-nilai spiritual terhadap kesejahteraan siswa, mulai dipertanyakan.

Baca Juga :  GS+

Dengan asumsi jika pendidikan agama dilakukan dengan lebih baik, niscaya kesejahteraan siswa pun akan bertambah baik. Hingga seolah-olah pendidikan agama dianggap kurang memberikan kontribusi ke arah itu. Dan setelah dilakukan penelitian induktif, dalam pendidikan agama memang terdapat beberapa kelemahan dalam proses pembelajaran.

Nur Kholis Madjid menyatakan, kegagalan pendidikan agama disebabkan pelajaran PAI lebih menitikberatkan pada hal-hal yang bersifat formal dan hafalan. Bukan pada pemaknaan dan pengimplemantasian. Dengan rincian, materi Pendidikan Agama termasuk bahan ajar akhlak atau budi pekerti lebih terfokus pada pengayaan pengetahuan (kognitif), dan minim dalam hal pembentukan sikap (afektif), serta pembiasaan (psikomotorik).

Efeknya, seorang siswa hanya terbiasa mendalami materi sebagai penunjang ujian. Belum sampai ke ranah implementasi dan pembiasaan. Padahal diketahui bersama, target pendidikan agama seharusnya lebih menekankan pada ranah pengaplikasian sehari-hari. Bukannya menjadikan pendidikan agama hanya sebagai suatu formalitas di atas kertas.

Memang terkesan tidak adil menimpakan tanggung jawab atas kesenjangan antara harapan dan kenyataan itu kepada pendidikan agama di sekolah. Sebab kelemahan pendidikan agama di sekolah bukanlah satu satunya faktor pemicu adanya kasus perundungan. Namun, sebagaimana telah dijelaskan, pendidikan agama di sekolah merupakan akar utama, penunjang tumbuhnya moral para siswa. Di samping nanti juga akan bersinergi dengan akar-akar yang lainnya.

Baca Juga :  Langkah Berani Jokowi Melawan Uni Eropa dan Dunia

Alhasıl darı segala paparan tadı, saya kıra terdapat beberapa solusı untuk menjembatanı antara kelemahan pola pendıdıkan menuju perbaıkan.

Pertama terkaıt kelemahan dalam proses KBM mapel PAI. Agaknya perlu dıbenahı dengan cara menggeneralısası paradıgma KBM yang sebelumnya. Maksudnya dı sampıng aspek kognıtıf, aspek afektıf, dan psıkomotorık, juga harus dikonvergensi dengan seimbang. Hal ını tak laın dan tak bukan dımaksud agar peserta dıdık memılıkı kompetensı dalam teorı sekalıgus penerapannya tanpa lebıh berat dı satu sısı.

Kedua tentang peran guru. Betapa pun bagusnya sebuah kurıkulum hasılnya tetap bergantung pada apa yang dılakukan guru baık dı dalam maupun dı luar kelas. Sembari kualıtas dan model pembelajaran guru juga harus dıperhatıkan keefektifannya. Karena pada dasarnya sıswa merupakan anak ıdıologıs seorang guru, tentu merupakan kenıscayaan bagı guru untuk mengurus dan melatıh sıswa tentang apa yang telah dıajarkan. Juga guru harus menyadarı bahwa masıh belum dıtemukan suatu pendekatan tunggal yang berhasıl menanganı para sıswa untuk mencapaı berbagaı tujuan pendıdıkan.

Terakhir, setelah disadari tentu menjadi urgen untuk segera dilakukan upaya pembenahan dalam pola Pendidikan agama kita. Dan upaya-upaya tersebut haruslah dilaksanakan secara aktif dan komulatif. Yang mana sebagai usaha mencapai tujuan bersama. Mengingat bahwa manusia dituntut untuk berusaha dan bukan berhasil mencapainya. (*)

 

*) Mahasantri Mahad Aly Sukorejo, Situbondo.

ADA suatu ungkapan yang mengatakan akar yang tak kokoh menopang, dapat dipastikan pohonnya pasti tumbang. Dapat dilihat hal serupa sedang marak terjadi di sekeliling kita. Yang dewasa ini, jagat medsos sempat ramai memperbincangkan kasus perundungan anak, yang juga terjadi di Banyuwangi.

Sebut saja kasus bunuh dirinya seorang anak SD diduga lantaran dirundung dari teman-temannya. Tak dapat dielakkan, kasus tersebut tentu menarik perhatian para elite sosial untuk ikut menjulurkan lidah menuai beragam komentar. Pasalnya juga terdapat polemik antar pihak terkait kasus perundungan tersebut.

Sejumlah pihak mengatakan, peristiwa tersebut di latar belakangi faktor bullying antar teman. Sedangkan pihak sekolah menyanggah, dengan berdalih hanya disebabkan faktor saling ejek antar teman, tidak sampai ke taraf perundungan.

Terlepas itu semua, sebenarnya di samping faktor pemicu kasus perundungan anak adalah sebab faktor lingkungan keluarga, pergaulan, mental bawaan, ternyata Pendidikan di sekolah merupakan akar faktor yang memiliki pengaruh besar dalam ada atau tidaknya kasus perundungan. Mengapa­, karena dengannya edukasi moral atau budi pekerti, yang dalam hal ini sebagai langkah preventif terhadap kasus perundungan lebih intens diajarkan daripada selain lingkungan sekolah.

Bicara mengenai pendidikan moral atau budi pekerti, baik dari jenjang SD sampai SLTA, pastinya lebih mengarah pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI). Karena muatannya di satu sisi tentang etika pada Tuhan, di sisi lain juga banyak tentang penanaman etika sosial kehidupan.

Namun realitanya, masih banyak ditemukan perilaku siswa yang justru bertentangan dengan apa yang telah diajarkan. Seperti siswa terbiasa melakukan perundungan, perkelahian dan sebagainya, tanpa menghiraukan nilai pendidikan yang telah ia emban. Akibatnya, peran serta efektivitas pendidikan agama di sekolah sebagai pemasok nilai-nilai spiritual terhadap kesejahteraan siswa, mulai dipertanyakan.

Baca Juga :  Kafe: Secangkir Perjumpaan dan Pembacaan

Dengan asumsi jika pendidikan agama dilakukan dengan lebih baik, niscaya kesejahteraan siswa pun akan bertambah baik. Hingga seolah-olah pendidikan agama dianggap kurang memberikan kontribusi ke arah itu. Dan setelah dilakukan penelitian induktif, dalam pendidikan agama memang terdapat beberapa kelemahan dalam proses pembelajaran.

Nur Kholis Madjid menyatakan, kegagalan pendidikan agama disebabkan pelajaran PAI lebih menitikberatkan pada hal-hal yang bersifat formal dan hafalan. Bukan pada pemaknaan dan pengimplemantasian. Dengan rincian, materi Pendidikan Agama termasuk bahan ajar akhlak atau budi pekerti lebih terfokus pada pengayaan pengetahuan (kognitif), dan minim dalam hal pembentukan sikap (afektif), serta pembiasaan (psikomotorik).

Efeknya, seorang siswa hanya terbiasa mendalami materi sebagai penunjang ujian. Belum sampai ke ranah implementasi dan pembiasaan. Padahal diketahui bersama, target pendidikan agama seharusnya lebih menekankan pada ranah pengaplikasian sehari-hari. Bukannya menjadikan pendidikan agama hanya sebagai suatu formalitas di atas kertas.

Memang terkesan tidak adil menimpakan tanggung jawab atas kesenjangan antara harapan dan kenyataan itu kepada pendidikan agama di sekolah. Sebab kelemahan pendidikan agama di sekolah bukanlah satu satunya faktor pemicu adanya kasus perundungan. Namun, sebagaimana telah dijelaskan, pendidikan agama di sekolah merupakan akar utama, penunjang tumbuhnya moral para siswa. Di samping nanti juga akan bersinergi dengan akar-akar yang lainnya.

Baca Juga :  Konservasi Penyu melalui Teknologi Inkubator Buatan (Intan)

Alhasıl darı segala paparan tadı, saya kıra terdapat beberapa solusı untuk menjembatanı antara kelemahan pola pendıdıkan menuju perbaıkan.

Pertama terkaıt kelemahan dalam proses KBM mapel PAI. Agaknya perlu dıbenahı dengan cara menggeneralısası paradıgma KBM yang sebelumnya. Maksudnya dı sampıng aspek kognıtıf, aspek afektıf, dan psıkomotorık, juga harus dikonvergensi dengan seimbang. Hal ını tak laın dan tak bukan dımaksud agar peserta dıdık memılıkı kompetensı dalam teorı sekalıgus penerapannya tanpa lebıh berat dı satu sısı.

Kedua tentang peran guru. Betapa pun bagusnya sebuah kurıkulum hasılnya tetap bergantung pada apa yang dılakukan guru baık dı dalam maupun dı luar kelas. Sembari kualıtas dan model pembelajaran guru juga harus dıperhatıkan keefektifannya. Karena pada dasarnya sıswa merupakan anak ıdıologıs seorang guru, tentu merupakan kenıscayaan bagı guru untuk mengurus dan melatıh sıswa tentang apa yang telah dıajarkan. Juga guru harus menyadarı bahwa masıh belum dıtemukan suatu pendekatan tunggal yang berhasıl menanganı para sıswa untuk mencapaı berbagaı tujuan pendıdıkan.

Terakhir, setelah disadari tentu menjadi urgen untuk segera dilakukan upaya pembenahan dalam pola Pendidikan agama kita. Dan upaya-upaya tersebut haruslah dilaksanakan secara aktif dan komulatif. Yang mana sebagai usaha mencapai tujuan bersama. Mengingat bahwa manusia dituntut untuk berusaha dan bukan berhasil mencapainya. (*)

 

*) Mahasantri Mahad Aly Sukorejo, Situbondo.

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/