23.7 C
Banyuwangi
Tuesday, March 28, 2023

Oleh: M. FIRDAUS RAHMATULLAH*

Yang Kecil Berbuah Besar

KITA sering abai akan hal-hal yang hakiki di depan mata dan memilih hal-hal yang keliru, bahkan salah. Panggilan salat, misalnya. Di tengah riuh taman bermain dan alun-alun, berbagai kesibukan pasar dan pusat perbelanjaan, ketika bermain, jalan-jalan, bercengkrama, dan sebagainya, azan adalah panggilan lalu, bukan panggilan menuju kemenangan. Andai kita tahu makna seruan itu, tentu kita gegas berbondong-bondong menuju asal suara meskipun harus merangkak. Tapi kita sering berlalu dari suara kemenangan itu.

Sesungguhnya tiada seruan yang lebih indah selain seruan-Nya.

Dalam sebuah riwayat, dikisahkan, Ali bin Abi Thalib radiallahu’anhu dalam perjalanan menuju masjid. Hendak menunaikan salat Subuh. Merasa takut kehilangan rakaat pertama, ia mempercepat langkah. Namun di tengah jalan, di sebuah jalan sempit, seorang tua tengah berjalan lirih, hingga sahabat Nabi ini berpikir tak mungkin mendahului orang tua tersebut. Jika pun mendahului tentu tak elok perbuatan demikian—bukan adab seorang muda kepada seorang tua. Kemudian, di sisi lain, Allah azzawajalla memerintahkan malaikat untuk menahan laju matahari supaya tidak segera terbit. Sayyidina Ali pun dapat mengikuti salat Subuh berjamaah tanpa ketinggalan rakaat pertama. Konon, kelak diketahui, bahwa orang tua itu adalah seorang Nasrani. Sampai di sini, adablah yang tinggi.

Adab merupakan hal yang sebenarnya hakiki dan sering kita abaikan. Suatu perkara tentang urusan perilaku dan tentang keseharian. Adab menentukan siapa seseorang itu, lebih dari sekadar seseorang. Baik melalui lisan maupun perbuatan.

Baca Juga :  Paran Angele Ngomong Sepuro?

Adab ialah pembentuk dasar karakter seseorang yang kelak melahirkan laku dan perbuatan seseorang. Adab adalah kunci merumuskan pikiran dan mendefinisikan seseorang bertindak. Adab adalah fondasi berkeadaban dan peradaban.

Sejak kecil, tentu kita telah diajari oleh orang tua dan guru-guru kita supaya menghormati orang yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda. Kita juga diajari untuk bertutur lemah lembut dan santun terhadap orang tua—dan yang dituakan, serta berbicara yang baik-baik dan penuh kasih terhadap anak kecil. Adakah pelajaran-pelajaran adab tersebut sudah kita lupakan ketika kita sudah dewasa dan menjadi orang-orang penting dan mempunyai jabatan?

Dalam riwayat lain dikisahkan. Iblis—sebelum menjadi iblis ia adalah pemimpin para malaikat yang disebut Azazil. Keluasan ilmu dan pengetahuannya tiada banding. Ketaatan dan pengabdiannya tiada tanding. Bila kita merasa lebih pandai lebih taat tinimbang iblis, tentu sepanjang hidup kita, manusia, tak akan berani menatap langit. Nabi Adam ‘alaihissalam, konon, selama 300 tahun, tidak berani mendongakkan kepalanya lantaran malu dengan Allah azzawajalla, tersebab dosa memakan khuldi di surga. Ia begitu malu, bukan karena melanggar titah Allah. Bukan jauh lebih pandai lebih taat, akan tetapi apa yang telah dilakukan Adam tidak mencerminkan akhlak seorang makhluk ciptaan-Nya: sebagai wajah-Nya.

Baca Juga :  Taktik Jenderal Sudirman

Sementara Iblis, bendoro para malaikat di semesta, adalah sosok dengan keluasan ilmu dan pengetahuan yang maha. Bahkan, konon, Jibril sang penyampai wahyu dan Mikail sang pembagi rezeki, menangis tatkala sosok itu diusir dari Arsy, yang kisah-kisahnya dicatat dalam Kitab yang Nyata. Bukan lantaran membangkang perintah-Nya, akan tetapi lantaran kesombongan yang merasa lebih mulia, yang diciptakan dari api, tinimbang Adam yang diciptakan dari tanah. Itu persoalan adab.

Kita dapat memetik pelajaran demikian. Sesungguhnya adab jangan sampai diabaikan. Sebagai manusia, tentu kita patut dan diwajibkan menguasai ilmu dan pengetahuan sebagai bekal menjalani laku hidup dan kehidupan di dunia maupun di alam setelah dunia. Tanpa ilmu, manusia tidak berarti apa-apa. Tanpa ilmu, manusia bukan manusia. Walakin dengan adab, manusia lebih utama tinimbang malaikat.

Akhirul kalam, hal-hal kecil dalam perjalanan kita sebagai manusia acuh tak acuh. Menyapa orang di jalan, berwajah semringah terhadap siapa saja. Berjabat tangan dalam setiap perjumpaan. Hingga menyingkirkan kerikil di tengah jalan. Siapa tahu, barang kali, kelak berbuah besar dan menafkahi tiap gerak dan laku kehidupanmu -sebagai pribadi, sebagai makhluk sosial-berakal: sebagai manusia. (*)

 

*) Katib yang berkhidmah di SMAN 1 Panarukan sebagai Guru Bahasa Indonesia.

KITA sering abai akan hal-hal yang hakiki di depan mata dan memilih hal-hal yang keliru, bahkan salah. Panggilan salat, misalnya. Di tengah riuh taman bermain dan alun-alun, berbagai kesibukan pasar dan pusat perbelanjaan, ketika bermain, jalan-jalan, bercengkrama, dan sebagainya, azan adalah panggilan lalu, bukan panggilan menuju kemenangan. Andai kita tahu makna seruan itu, tentu kita gegas berbondong-bondong menuju asal suara meskipun harus merangkak. Tapi kita sering berlalu dari suara kemenangan itu.

Sesungguhnya tiada seruan yang lebih indah selain seruan-Nya.

Dalam sebuah riwayat, dikisahkan, Ali bin Abi Thalib radiallahu’anhu dalam perjalanan menuju masjid. Hendak menunaikan salat Subuh. Merasa takut kehilangan rakaat pertama, ia mempercepat langkah. Namun di tengah jalan, di sebuah jalan sempit, seorang tua tengah berjalan lirih, hingga sahabat Nabi ini berpikir tak mungkin mendahului orang tua tersebut. Jika pun mendahului tentu tak elok perbuatan demikian—bukan adab seorang muda kepada seorang tua. Kemudian, di sisi lain, Allah azzawajalla memerintahkan malaikat untuk menahan laju matahari supaya tidak segera terbit. Sayyidina Ali pun dapat mengikuti salat Subuh berjamaah tanpa ketinggalan rakaat pertama. Konon, kelak diketahui, bahwa orang tua itu adalah seorang Nasrani. Sampai di sini, adablah yang tinggi.

Adab merupakan hal yang sebenarnya hakiki dan sering kita abaikan. Suatu perkara tentang urusan perilaku dan tentang keseharian. Adab menentukan siapa seseorang itu, lebih dari sekadar seseorang. Baik melalui lisan maupun perbuatan.

Baca Juga :  Indonesia Butuh Tayangan Televisi yang Mendidik

Adab ialah pembentuk dasar karakter seseorang yang kelak melahirkan laku dan perbuatan seseorang. Adab adalah kunci merumuskan pikiran dan mendefinisikan seseorang bertindak. Adab adalah fondasi berkeadaban dan peradaban.

Sejak kecil, tentu kita telah diajari oleh orang tua dan guru-guru kita supaya menghormati orang yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda. Kita juga diajari untuk bertutur lemah lembut dan santun terhadap orang tua—dan yang dituakan, serta berbicara yang baik-baik dan penuh kasih terhadap anak kecil. Adakah pelajaran-pelajaran adab tersebut sudah kita lupakan ketika kita sudah dewasa dan menjadi orang-orang penting dan mempunyai jabatan?

Dalam riwayat lain dikisahkan. Iblis—sebelum menjadi iblis ia adalah pemimpin para malaikat yang disebut Azazil. Keluasan ilmu dan pengetahuannya tiada banding. Ketaatan dan pengabdiannya tiada tanding. Bila kita merasa lebih pandai lebih taat tinimbang iblis, tentu sepanjang hidup kita, manusia, tak akan berani menatap langit. Nabi Adam ‘alaihissalam, konon, selama 300 tahun, tidak berani mendongakkan kepalanya lantaran malu dengan Allah azzawajalla, tersebab dosa memakan khuldi di surga. Ia begitu malu, bukan karena melanggar titah Allah. Bukan jauh lebih pandai lebih taat, akan tetapi apa yang telah dilakukan Adam tidak mencerminkan akhlak seorang makhluk ciptaan-Nya: sebagai wajah-Nya.

Baca Juga :  Opini Kerinduan

Sementara Iblis, bendoro para malaikat di semesta, adalah sosok dengan keluasan ilmu dan pengetahuan yang maha. Bahkan, konon, Jibril sang penyampai wahyu dan Mikail sang pembagi rezeki, menangis tatkala sosok itu diusir dari Arsy, yang kisah-kisahnya dicatat dalam Kitab yang Nyata. Bukan lantaran membangkang perintah-Nya, akan tetapi lantaran kesombongan yang merasa lebih mulia, yang diciptakan dari api, tinimbang Adam yang diciptakan dari tanah. Itu persoalan adab.

Kita dapat memetik pelajaran demikian. Sesungguhnya adab jangan sampai diabaikan. Sebagai manusia, tentu kita patut dan diwajibkan menguasai ilmu dan pengetahuan sebagai bekal menjalani laku hidup dan kehidupan di dunia maupun di alam setelah dunia. Tanpa ilmu, manusia tidak berarti apa-apa. Tanpa ilmu, manusia bukan manusia. Walakin dengan adab, manusia lebih utama tinimbang malaikat.

Akhirul kalam, hal-hal kecil dalam perjalanan kita sebagai manusia acuh tak acuh. Menyapa orang di jalan, berwajah semringah terhadap siapa saja. Berjabat tangan dalam setiap perjumpaan. Hingga menyingkirkan kerikil di tengah jalan. Siapa tahu, barang kali, kelak berbuah besar dan menafkahi tiap gerak dan laku kehidupanmu -sebagai pribadi, sebagai makhluk sosial-berakal: sebagai manusia. (*)

 

*) Katib yang berkhidmah di SMAN 1 Panarukan sebagai Guru Bahasa Indonesia.

Artikel Terkait

Most Read

Usai Isi Bensin, Motor Terbakar

Terlengkap Pertama di Banyuwangi

Ternak Burung Perkutut Bangkok

Artikel Terbaru

/