Merawat Tradisi, Mewariskan Weluri di Era Regenerasi

Oleh: Sri Wahyuni*

CAK Sul adalah seniman Banyuwangi yang kerap disapa Slamet Diharjo. Lahir di Desa Olehsari, Kecamatan Glagah, Banyuwangi. Dia seniman penerus generasi budaya Oseng bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Dia menjadi salah satu pelopor sekolah adat atau Pesinauan Oseng di Banyuwangi. Dalam proses berjalannya sekolah adat Oseng tersebut, dia tidak berjalan sendirian. Ia bahu-membahu bersama dengan teman-temannya.

Menurut Cak Sul penting dalam memajukan suatu bangsa salah satunya dengan menjaga kelestarian kebudayaan nenek moyang, untuk diajarkan ke generasi selanjutnya. Generasi muda perlu mengenal kesenian dan kebudayaan Indonesia yang banyak ragam. Dengan mengenal, seseorang akan mudah tertarik dan mempelajarinya. Selanjutnya akan muncul rasa ikut memiliki, dan akhirnya tumbuh rasa mencintai seni budaya sendiri.

Sejak pandemi tahun 2021, aktivitas Cak Sul pada Minggu dan Selasa disibukkan di area Pesinauan Oseng yang berdiri di atas sawah pemberian bapaknya. Selain itu, dia juga berprofesi sebagai guru. Dia mengaku, tanah tersebut pemberian orang tuanya sebanyak tujuh petak. Selanjutnya, lahan tersebut jadikan sebagai sekolah adat.

Tanah warisan orang tua dia jadikan sekolah adat budaya untuk siapa saja. Terutama untuk mereka yang mau belajar budaya. Mulai dari kesenian, tari, atau pun adat budaya masyarakat Suku Oseng Banyuwangi. Semua itu diajarkan tanpa balas jasa. Siapa pun boleh belajar, tidak dibatasi. Saat ini ada sekitar 40 siswa.

Baca Juga :  Mari Menyalakan Lilin daripada Mengutuk Kegelapan

Kemauan untuk melestarikan itu dilakukan dengan ikhlas. Dia mau merelakan waktu serta materi, demi keberlanjutan eksistensi budaya dan adat Oseng di Banyuwangi. Ini juga tak lepas dari latar belakang pendidikannya sebagai lulusan sarjana seni di Sekolah Tinggi Wilwatikta Surabaya.

Cak Sul pernah mendapat pesan dari salah seorang dosennya. Dikatakan, seniman yang berhasil itu adalah seniman pulang kampung. Awalnya ia berniat menetap di Jogja dan Jakarta untuk mencari uang. Namun, setelah melihat adanya potensi di Banyuwangi, dia memilih mengembangkan budaya. Berbagai kebudayaan seperti barong dan jaranan, akan semakin terkikis bila tidak segera dilestarikan.

Dana operasional Pesinauan Oseng  terebut, Cak Sul tidak menggunakan dana dari pemerintah. Dananya swadaya dirinya bersama swadaya teman-teman, serta sumbangsih komunitas lain. Dia juga tidak mengharapkan dana dari investor luar. Menurutnya, manajemen yang menyenangkan adalah manajemen yang dikelola sendiri.

Bagi Cak Sul, tak ada yang lebih membahagiakan dari sekadar melakukan segala hal dengan penuh keikhlasan. Seperti apa yang pernah dikatakan oleh filsuf Yunani kuno., Aristoteles. “Seni tertinggi adalah pembangunan kegembiraan dalam ekspresi kreatif dan pengetahuan.”

Begitupun dengan yang dilakukan Cak Sul. Ia memilih untuk berjalan, bahu-membahu bersama masyarakat adat sekitar, dalam membangun iklim berbudaya yang lestari dan kreatif tanpa adanya tuntutan dari pihak luar. Seniman itu berkarya dari hati, bukan dari proposal.

Baca Juga :  Dorong Sekolah Miliki Perpustakaan Tersertifikasi

Dengan melihat hal ini, upaya pelestarian budaya tidak cukup hanya dilakukan melalui berbagai pertunjukan reguler. Hal utama yang harus dilakukan adalah pemberian apresiasi dan pemahaman tentang filosofi serta nilai-nilai dari keberadaan objek budaya, warisan, dan tradisi, yang tumbuh berkembang di masyarakat secara turun temurun.  Hal ini penting dilakukan, agar masyarakat khususnya generasi muda termotivasi. Serta generasi muda memiliki pemahaman yang baik dan terlibat aktif dalam melakukan pengenalan dan penerapan akan kebudayaan yang dimilikinya,  agar diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Kehidupan akan terus berkembang. Bagaimana manusia bisa mengeksistensikan di era perkembangan zaman. Kita sebagai penerus generasi selanjutnya, menjadi start dalam keberlanjutan kebudayaan bagi anak cucu ke depannya. Tradisi itu bukan hanya sekadar pementasan, namun bagaimana bisa menjaga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Jika nilai-nilai luhur secara turun temurun tidak dilakukan, maka akan hilang pada waktunya. Jika itu terjadi, maka akan munculnya apa itu degradasi budaya. (*)

*) Mahasiswa Tadris Bahasa Indonesia, Institut Agama Islam Darussalam Blokagung, Banyuwangi.