Diusia seseorang yang sudah memasuki 20 tahun, perbincangan soal menikah sudah menjadi perkara yang lumrah bagi kalangan para pemuda dan pemudi, utamanya bagi mereka para mahasiswa semester akhir yang sebentar lagi wisuda. Hal seperti ini pun pernah penulis alami ketika masih menempuh pendidikan akhir starata satu. Dalam sebuah forum ujian kompetensi kompherenshif ketika ditanya apa yang akan penulis lakukan setelah mendapat gelar sarjana, spontanitas penulis mejawab akan mengajak para pemuda di daerah penulis untuk tidak terburu menikah muda jika masih belum kerja. Hal ini disebabkan circle pertemanan penulis ketika itu, selalu membahas tentang pernikahan, kapan nikah, dan siapa yang nantinya dijadikan PW (Pendamping Wisuda).
Di dalam kitab al- Ahwal al Syakhsiyah, Abu Zahra mendefinisikan bahwa nikah adalah suatu akad yang menghalalkan hubungan intim antara pria dan wanita yang saling mencintai, saling membantu, yang masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Di dalam kitab suci al- Qur’an, pada surah Az-Zariyat ayat 49, yang artinya “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” Dari ayat tersebut dapat kita pahami, bahwa segala makhluk yang ada di muka bumi ini pasti memiliki pasangan yang membuat hidup lebih indah dan mudah.
Beberapa bulan terakhir ini, persoalan tentang menikah hampir menjadi treanding topic dikalangan masyarakat dunia nyata dan penguna dunia maya. Lantaran mereka menikah tidak lazim seperti umumnya pernikahan yang ada. Ada yang menikah dengan mertua, bisa menikah dengan membeli usia, menikah lantaran sudah berbadan dua dan juga menikah hanya untuk mendapatkan harta dan melunasi hutang yang ada. Mungkin yang terakhir kami sebut sudah biasa terjadi di sinetron televisi, tapi itulah faktanya pernikahan yang terjadi di negara ini.
Lagi-lagi tentang nikah, para orang tua yang memiliki anak yang usianya sudah cukup dalam aturan pemerintah untuk menikah, pasti sangat menginginkan masa depan anaknya bisa bahagia dengan orang yang dicintainya. Bahagia bukan hanya tentang finansial, tetapi juga tentang spiritual dan emosional. Menantu idaman, mertua mana yang tidak menginginkan. Pada kesempatan acara wisuda di Universitas Ibrahimy pada bulan oktober tahun lalu, penulis sebagai wisudawan sarjana, mencatat apa yang disampaikan dalam sambutan atas nama Ibu Gubernur Khofifah Indarparawansah, yang diwakilkan oleh Dr. Ramliyanto, bahwa menjadi sarjana lulusan perguruan tinggi pesantren memiliki empat ciri khas keistimewan yang tidak dimiliki oleh sarjana yang lain, diantaranya;
Yang pertama dijamin kokoh spiritual. Seorang sarjana perguruan tinggi pesantren yang memiliki kekokohan spiritual akan lebih berani dalam menghadapi berbagai problematika kehidupan dan biasanya jarang dalam kondisi zona nyaman. Hal ini dikarenakan aktivitas santri selama di pesantren yang sudah ditentukan untuk bisa qonaah menerima kekurangan dan keterbatasan. Kokoh spritual ini bukanlah suatu karakter atau sifat bawaan sejak lahir. Kekokohan spiritualitas bisa didapat dengan belajar ilmu agama yang mendalam, lingkungan sekitar yang bernuansa kental ke-Agamaan, selalu mendekatkan diri kepada Allah dan menjauhi segala larangan Allah SWT.
Yang kedua cerdas intelektual. Seorang sarjana perguruan tinggi pesantren dalam aktivitas keseharianya di pesantren, telah diajarkan tentang 2 bidang ilmu, yaitu tentang ilmu yang berkaitan dengan agama dan ilmu yang berkaitan tentang dunia. Ilmu Agama mereka pelajari di bangku pendidikan madrasah dan ilmu tentang dunia mereka pelajari di bangku sekolah dan perguruan tinggi. Selain itu aktivitas keilmuan sarjana perguruan tinggi pesantren juga didapatkan dari berbagai macam organisasi dan lembaga yang mereka geluti selama di pesantren. Sehingga besar kemungkinan intelektual kecerdasaan mereka bisa mengimbangi dan juga menyaingi persaingan global, sebab “Man arodha dhunya fa alaihi bil ilmi”. barangsiapa yang menginginkan dunia maka dengan ilmu. Al hadits.
Yang ketiga santun secara sosial. Manusia sebagaimana ajaran filsafat filsuf Aristoteles yang menyebutkan sebagai Zoon politicon, makhluk sosial yang butuh kepada manusia yang lain. maka santun dalam sosial merupakan sesuatu yang harus diterapkan agar supaya keharmonisan bisa terjalin di setiap kehidupan. Sebab, “Innama buistu liuttamima makarimal akhlaq”. Sesungguhnya Baginda Nabi diutus untuk menyempurnakan akhlaq dan bagi seorang sarjana perguruan tinggi pesantren hadits tersebut mungkin sudah tidak asing lagi bagi mereka. Lantaran makna dari hadits tersebut sudah menjadi terapan perilaku hidup sehari-hari agar bisa berakhlaqul karimmah (perilaku yang baik).
Yang keempat mapan secara finansial. Dalam hal ini Dr. Ramliyanto menyampaikan bahwa mapan secara finansial biasanya banyak dicari oleh sarjana perguruan tinggi yang lain tapi tidak untuk sarjana perguruan tinggi pesantren. Lantaran perbandingganya sarjana perguruan tinggi pesantren, setelah mereka wisuda kebanyakan memutuskan untuk menyempurnakan Agama walau belum mendapat kerja. Dengan dalil ketika sudah menikah maka akan terbuka pintu-pintu rezki yang ada, serta dawuh dari kyai kami bahwa menikah tidak harus punya kerja, tetapi siap kerja. Hal ini sungguh berbanding terbalik dengan sarjana perguruan tinggi lain yang tidak ingin menikah sebelum bekerja, disebabkan menikah bukan hanya persoalan tentang kesenangan dan kebahagiaan, tetapi juga tentang tangung jawab dan keberlangsungan hidup. Ini hanya sudut pandang dan bagi para pembaca sekalian, which one do you like ?
Inilah beberapa kriteria menantu idaman yang sedang dicari orang tua yang akan menjadi mertua. Jika 4 hal ini sudah ada dalam pribadi pembaca sekalian. Maka menikahlah karena nikah itu sunnah rosul. Dawuh kanjeng Nabi “Man ahya sunnati faqod ahhabbani, wa man ahhabbani kana ma’iy fil jannah”. Barangsiapa yang mengikuti sunnahku maka dia mencintaiku, dan barangsiapa yang mencintaiku maka dia bersamaku di surga.
*) Santri P2S3 asal Desa Dadapan, Kabat, Banyuwangi.