Anak Berhadapan dengan Hukum, Bagaimana Penerapan di Sekolah?

Oleh: Syaiful Bahri*

TIDAK sedikit akhir-akhir ini permasalahan terjadi pada anak usia sekolah, yang mendapatkan perhatian serius dari masyarakat (netizen). Baik itu yang berdampak pada orang lain, diri mereka sendiri, bahkan ada yang berdampak pada reputasi dan jabatan orang tua.

Lantas, apa yang salah pada anak- anak ini? Bagaimana dunia pendidikan menyikapi permasalahan tindak pidana yang terjadi pada anak-anak? Tentunya jawabannya tidak bisa lepas dari apa yang disebut dengan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH).

Kemudian kita harus tahu dulu definisi Anak. Menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak bahwa “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Artinya anak-anak usia sekolah mulai dari PAUD, TK, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, sampai Sekolah Menengah Atas, masuk pada aturan yang ada pada Undang-Undang tersebut di atas.

Selanjutnya, sekolah dalam hal ini harus tahu bagaimana apabila anak-anak yang masuk dalam kategori tersebut berhadapan atau bermasalah dengan hukum. Di dalam ABH, ternyata anak yang berhadapan dengan hukum adalah orang yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun. Meliputi anak yang disangka, didakwa, atau dijatuhi pidana, karena melakukan tindak pidana dan anak yang menjadi korban tindak pidana atau yang melihat dan/atau mendengar sendiri terjadinya suatu tindak pidana.

Baca Juga :  Tak Ada Sepak Bola yang Seharga Nyawa Manusia

Dari pengertian tersebut maka ada tiga jenis ABH yaitu Anak Saksi, Anak Korban, dan Anak Pelaku.  Apabila ini terjadi di sekolah, maka tiga jenis anak yang berhadapan hukum ini harus benar-benar mendapatkan perlindungan dalam hukum.

Dalam Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012, tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, ada kategori sebagai berikut:

Pertama, Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut anak, adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

Kedua, Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban, adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.

Ketiga, Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi. Adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.

Baca Juga :  Revolusi Tata Kelola Pemerintahan Desa

Hampir separo dari kehidupan anak-anak kita berada di lingkungan sekolah, tidak mustahil kejadian tidak pidana anak berada dalam kurun waktu selama mereka berada di sekolah. Karena rata-rata anak-anak ada di sekolah dari jam 07.00 pagi sampai jam 15.00 sore.

Selain keluarga dan tentunya pemerintah, sekolah juga mempunyai peran dalam penanganan ABH. Karena sekolah masuk pada lingkungan sosial di mana anak-anak banyak berintegrasi dengan anak sebayanya.

Mengacu pada penjelasan tentang ABH tersebut, maka sekolah atau lembaga sebagai tempat anak-anak belajar, bermain, dan berinteraksi, mempunyai peran untuk memberikan contoh / model /suri teladan yang baik, sebagai penanaman akhlak agar anak-anak dapat terhindar dari masalah hukum. Selain memberikan pengetahuan dalam peningkatan akademik mereka.

Keseimbangan antara pengetahuan akademik dengan pembelajaran akhlak sangat efektif sebagai upaya dan tanggung jawab sekolah, dalam memberikan pendidikan yang terintegrasi. Namun, apabila sekolah menemukan kejadian yang ABH pada sekolah, segera diselesaikan dengan baik. Dan apabila tidak bisa diselesaikan di sekolah, masih ada tempat untuk melakukan ‘diversi’ mungkin bisa di Rumah ‘Restorative Justice’ dan yang terakhir ini sudah diluncurkan baru-baru ini. Restorative Justice di setiap kabupaten insyaallah sudah tersedia. (*)

*) Kepala SMA Negeri 1 Besuki, Situbondo.