Raden Mas Said dan Bonekanya

Oleh: Ghanina Najmannufus*

HAMPIR tak disetujui oleh para sejawat terutama Sunan Ampel yang menjadi nakhoda dewan wali masa itu. Bisa disebut dengan Pangeran Tuban, Pangeran Abdurrahman, Raden Mas Said, Ki Dalang Sida Brangti, atau pun sebutan umumnya yakni Sunan Kalijaga.

Kalijaga? What’s that? Singkat cerita, Raden Said terkenal sebagai pembegal di daerah Tuban. Aksi tersebut diketahui oleh ayahnya, Tumenggung Wilaktika. Ia marah, dan merasa ternodai nama baiknya karena ulah anaknya, Raden Said tersebut. Ia lantas mengusir Raden Said dari Tuban.

Namun aksi perampokan Raden Said masih terus berlanjut. Kemudian bertemulah ia dengan Sunan Bonang yang menjadi mangsa. Singkat cerita, Sunan Bonang dilumpuhkan dan meminta agar Sunan Bonang menyerahkan semua hartanya. Sunan Bonang pun menasihati dengan menunjukkan kesaktiannya, yaitu mengubah pohon menjadi emas.

Pertemuan inilah cahaya datang untuk Raden Said Dia bertobat dan meminta Sunan Bonang menjadi gurunya. Sunan Bonang menerima permintaannya dengan satu syarat, yakni Raden Said harus bersemedi di Kali (sungai), sampai Sunan Bonang kembali. Setelah tiga tahun, Sunan Bonang baru kembali dan melihat Raden Said masih berada di tempat yang sama dengan diselimuti rerumputan di tubuhnya.

Melihat hikmatnya, Sunan Bonang takjub. Dan diberi nama Sunan Kalijaga untuk Raden Said, yang bermakna orang yang menjaga aliran atau kepercayaan yang berada di masyarakat.

Sunan Kalijaga memiliki cara unik untuk menyebarluaskan agama Islam di Jawa. Salah satunya dengan pertunjukan wayang, di mana perpaduan antara budaya dan wayang sangat menarik perhatian masyarakat Jawa. Wayang dalam Bahasa Jawa berarti bayangan. Kata ini dibuktikan dengan pertunjukannya di mana dalang hanya menunjukkan bayangan boneka itu. Ada juga yang berpendapat bahwa wayang berasal dari kalimat “Ma Hyang” yang berarti “berjalan menuju yang Maha tinggi”.

Baca Juga :  Menuntaskan Amanat Kemerdekaan

Awalnya, pertunjukan bayangan ini disamakan dengan pertunjukan boneka yang menjadi penghibur masyarakat Hindu. Wayang kian merakyat di Pulau Jawa sebagai sarana dakwah, penghibur, juga nilai-nilai kehidupan yang terkandung. Sunan Kalijaga meneruskan metode wayang ini, karena dianggap masyarakat bisa lebih menerima. Karena adanya campur aduk antara tradisi dengan pertunjukan. Di mana Sunan Kalijaga menjadi dalang atau penggerak wayang dan menjelma seluruh masyarakat Pulau Jawa.

Salah satu tokoh Walisongo yakni Sunan Kalijaga yang lihai akan mendalang, ia membaur dan mampu mengenalkan ajaran Islam pada masyarakat. Dalam pementasan, ia tak pernah meminta bayaran. Namun ia hanya meminta para rakyat yang menonton membayar tiket dengan menyebut “Kalimosodo” yang berarti membaca dua kalimat syahadat. Dengan seperti itu, rakyat yang menonton pertunjukan wayang Sunan Kalijaga sudah masuk Islam.

Seperti kali, Sunan Kalijaga dan boneka kulit lembu terus mengalir melintasi daerah ke daerah. Hingga muncullah karakter-karakter baru dalam pertunjukan wayang, demi menghindari kesyirikan menduakan Allah. Seperti Punakawan yang terdiri dari Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Kemunculan ini memudarkan rasa kesyirikan. Rakyat makin menikmati pertunjukan wayang dengan tokoh-tokoh lucu Punakawan. Selain menyajikan gelak tawa bagi penonton, dalam hati mereka juga dimasukkan tentang nilai-nilai ketuhanan yang terkandung di sela pertunjukan wayang, dengan dalang Sunan Kalijaga.

Punakawan merupakan tokoh pewayangan yang diciptakan oleh pujangga Jawa. Empat tokoh Punakawan tersebut memiliki sifat-sifat khas. Yang pertama Semar yang merupakan bapak dari ketiga Punakawan. Semar memiliki tubuh gemuk dengan jari telunjuk menuding, yang bersifat rendah hati nan tidak sombong.

Selanjutnya Gareng merupakan anak pertama Semar dengan kekhasan tubuhnya yang cacat mata, tangan, dan kakinya. Dengan sifatnya yang tidak pandai bicara dan lucu nan humoris.

Baca Juga :  Membangun Karakter dalam EHB-BKS

Yang ketiga Petruk, yang merupakan anak kedua dari Semar dengan tubuh langsing dan tinggi, serta sifatnya yang pemberani dan cerdas.

Terakhir Bagong, yang merupakan anak ketiga Semar. Bagong dengan tubuh gemuk dan bulat, juga sifatnya yang lugu dan berlagak bodoh.

Tidak jarang keempat tokoh Punakawan ini memakai istilah modern yang tidak sesuai dengan zamannya. Tapi hal tersebut tidak dijadikan permasalahan. Punakawan disajikan sebagai tokoh penceria untuk melelehkan humor para penonton. Sehingga penonton tak henti bermain gelak tawanya.

Terutama tokoh Bagong, wajahnya saja sudah terlihat bagaimana karakter sifatnya yang suka melucu dan berlagak sok bodoh itu, juga tak pernah serius menghadapi masalah. Tapi Bagong juga memiliki kelebihan sabar dan sederhana. Sosok Bagong juga digambarkan sebagai manusia yang sesungguhnya yakni memiliki kelebihan juga kekurangan. Karena itu, tinggal kita sebagai manusia harus pandai bersyukur dan selalu mengingat Allah Mahapencipta.

Tapi kini, jarang sekali generasi milenial tahu akan sejarah pewayangan dan sejarah Walisongo yang begitu indah menyebarluaskan Islam. Karena itu, tanggal 7 November 2022 diperingati sebagai “Hari Wayang Nasional”. Ini telah ditetapkan langsung oleh Presiden Joko Widodo. Wayang selanjutnya masuk daftar warisan budaya UNESCO sebagai Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity pada 7 November 2003 silam.

Penetapan Hari Wayang 7 November diharapkan untuk menjadikan kecintaan masyarakat untuk meningkatkan banyak apresiasi budaya lokal. Juga menjadi hubungan dengan nilai-nilai kehidupan yang harmonis dan budi luhur yang baik. Kita sebagai masyarakat lokal, seharusnya bangga dengan kekayaan budaya yang kita miliki. Selalu memperingati dengan cara menjaga dan menghormati kebudayaan Nusantara. (*)

*) Siswi MAN 3 Banyuwangi.