GONG besar sebagai tanda dimulainya kompetisi liga 1 telah ditabuh. Bagi saya, penikmat Liga Indonesia, tidak ada alasan untuk tidak suka dengan kompetisi kasta tertinggi sepak bola di negeri ini. Meski masih banyak yang berpendapat bahwa permainan Liga 1 kurang sat set dibanding dengan liga-liga negara lain.
Banyak kejutan di dua pekan awal liga 1 musim ini. Mulai dari kalahnya beberapa tim tradisional, hujan gol Madura United atas Barito Putra (8-0), masih tidak konsistennya penampilan beberapa tim serta mulai berani unjuk gigi klub-klub promosi sebagai penantang tim-tim mapan di liga 1 selama ini. Layak kiranya ditunggu kejutan selanjutnya karena liga masih sangat panjang.
Saya sering mendapat pertanyaan dari beberapa kolega di tempat kerja terkait Liga 1. Rata-rata pertanyaan sama, “Mengapa kok suka dengan Liga 1 Indonesia?” Bagi saya pertanyaan itu wajar dan sah-sah saja.
Tentunya banyak alasan kenapa saya menyukai Liga 1 ini. Liga yang mungkin kebanyakan orang masih perlu banyak perbaikan. Ada beberapa alasan kenapa masih istiqomah menikmati Liga 1.
Pertama, tim nasional, lebih familiar di masyarakat dengan sebutan timnas. Diawali euforia piala AFF 2010, saya mengamati setiap timnas berlaga selalu sesak dengan dukungan suporter. Munculnya rasa satu darah, satu cita, satu harapan begitu tampak dari semangat para suporter. Ternyata rasa dan dukungan itu pun berlaku tidak hanya ke timnas senior, melainkan merembet ke timnas U-23, U-19, hingga U-16.
Pembicaraan tentang laga Timnas tidak hanya di kota, tempat nongkrong, dan base camp nobar. Tapi di pojok terpencil seperti desa saya pun, tak mau kalah membicarakan timnas. Ini saya alami sendiri ketika mengisi angin ban motor di tukang tambal ban dekat rumah. Tukang tambal ban yang sudah uzur masih sangat fasih, dan asyik ketika mengobrol tentang timnas dengan sejawatnya. Bahkan rencana pindah PSSI dari AFF ke EAFF, mereka berdua juga paham dengan detail.
Ada pun yang perlu digarisbawahi di sini adalah, baik dan tidaknya performa timnas di kancah internasional, tak bisa dilepaskan oleh kualitas liga di negeri ini. Utamanya Liga 1. Banyak yang suka hasil timnas menang, tapi tak sedikit pula yang mencibir ketika timnas gagal tanpa mau sedikit melihat ke belakang, bagaimana kompetisi liga di Indonesia. Bagaimana pun juga, pemain timnas berasal dari kompetisi liga yang sebelumnya diseleksi oleh jajaran pelatih timnas. Performa baik dan jam terbang di liga 1 itulah syarat utama untuk bisa memikat jajaran pelatih untuk masuk di timnas.
Kedua, bahasa. Bahasa di sini yang saya maksud adalah peran para komentator dalam menyiarkan sepak bola. Hambar rasanya sepak bola tanpa komentator, ibarat sayur tanpa garam. Hadirnya mereka akan memberikan nyawa dalam sebuah pertandingan. Penonton bisa tegang, gembira, larut dalam emosi merupakan efek sekaligus stimulus dari para komentator, khususnya penonton yang tidak bisa hadir langsung ke stadion.
Komentator harus pandai merangkai kata, memilih diksi, hingga gaya bahasa yang mampu menyihir dan menghipnotis para pemirsa. Meski juga ada pemirsa yang merasa risi akibat banyaknya hiperbola yang digunakan. Dan itulah pemirsa, tak akan pernah bisa satu suara. Tapi komentator tetap harus memberikan edukasi dan deskripsi di setiap laga.
Bagi pencinta sepak bola tentu tak asing lagi dengan komentator sepak bola negeri ini. Sebut saja, Tris Irawan, Hadi Gunawan, Tommy Welly, Valentino Simanjuntak, Rendra Soendjono, Khusnaeni, hingga Binder Singh. Biasanya antara komentator satu dan yang lain punya jargon sebagai ciri khas dalam mengulas dan menganalisis pertandingan. Misalnya Hadi Gunawan dengan “ahayyy,” Rendra Soendjono dengan “Sukardi Percaya,” atau Valentino Simanjutak dengan kata “Jebreetttttt.”
Bagi saya, jargon gaya bahasa sekaligus tambahan diksi-diksi komentator untuk menarik simpati para pemirsa, bukan suatu masalah. Malah ini berkah, utamanya dalam bidang ilmu bahasa terkait penambahan kosakata. Meski dari kosakata komentator tadi masih perlu dianalisis dan kajian dari pihak terkait untuk bisa digunakan oleh khalayak. Tapi inilah bahasa, dinamis, dan selalu berkembang menyesuaikan kondisi zaman. Bahasa, terkadang juga tak pernah peduli siapa pencetus dan pemakainya. Awet dan tidaknya di sendi-sendi kehidupan kadangkala tak ada yang memikirkan. Mau bertahan, mau tenggelam lalu muncul lagi ke permukaan, masyarakatlah aktor penentunya.
Ketiga, miniatur Indonesia. Biasanya di sela-sela pertandingan babak kedua, panitia pertandingan menginformasikan jumlah kehadiran suporter. Rata-rata jumlah yang hadir puluhan ribu, tapi bisa lebih banyak bahkan stadion tak mampu menampung, apabila tema pertandingan bertajuk derby. Derby selalu mampu menghipnotis suporter untuk berbondong-bondong daripada pertandingan-pertandingan biasa.
Dari jumlah suporter yang berjumlah ribuan tadi, baik di derbi maupun non-derby pernahkah saya atau Anda bertanya. Apakah yang hadir hanya satu golongan saja, satu suku saja, atau hanya satu agama saja? Rasanya tidak. Sepakbola tak pernah membedakan kasta atau latar belakang asal muasal penikmatnya. Sebab sepakbola milik semua.
Atau, mari sejenak mengenang kembali selebrasi tiga pemain Bali United berbeda agama saat melawan Borneo FC di tahun 2017. Ngurah Nanak (Hindu), Yabes Roni (Kristen), dan Miftahul Hamdi (Islam). Ketiganya kompak mengekspresikan rasa syukur kepada Tuhan, atas lahirnya gol ketiga dengan keyakinannya masing-masing. Ngurah Nanak dengan menangkupkan tangan di kening sambil berdiri. Yabes Roni berlutut dengan menyilangkan jari jemari kedua tangan. Miftahul Hamdi bersujud menghadap ke bumi. Inilah wujud Bhinneka Tunggal Ika, miniatur Indonesia yang perlu terus digenggam erat oleh seluruh elemen bangsa.
Terakhir, sepakbola bukan hanya soal indahnya liukan para pemain di lapangan, sat set dalam mengolah, dan mengoper bola. Bukan hanya soal teriakan pelatih di pinggir lapangan atau beberapa putusan wasit yang kontroversial. Lebih dari itu, ada nilai-nilai yang bisa dipelajari dan dieksplorasi agar sepak bola Indonesia semakin maju. Salam olahraga, dan bravo sepakbola Indonesia. (*)
*) Dosen Prodi Tadris/ Pendidikan Bahasa Indonesia Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAI Darussalam, Blokagung, Banyuwangi.