23.6 C
Banyuwangi
Tuesday, March 28, 2023

Oleh: HALIMATUS SA’DIAH*

Saatnya Melawan Perundungan di Sekolah

PENCIPTAAN Lembaga Pendidikan yang kondusif, aman, dan nyaman, sebagai sarana pertumbuhan dan perkembangan anak didik, saat ini penuh dengan tantangan. Tantangan yang masih cukup menyita perhatian, kasus perundungan (bullying) terus meningkat.

Apa sebenarnya perundungan? Perilaku seperti apa yang termasuk perundungan? Apa yang harus dilakukan ketika melihat perundungan? Perundungan merupakan tindakan agresi dan disengaja yang dilakukan oleh kelompok atau individu secara berulang terhadap korban, hingga korban tidak mudah membela diri (Menesini & Salmivalli, 2017).

Ada poin yang perlu ditegaskan, sehingga masuk dalam ranah perilaku perundungan. Pertama, tindakan menyakiti atau melukai orang lain secara sengaja, baik fisik maupun psikis. Kedua, dilakukan berulang, artinya lebih dari sekali. Ketiga, korban tidak mudah membela diri, artinya ada kekuatan yang tidak imbang antara pelaku dan korban.

Beberapa tipe perundungan versi UNICEF.

Pertama, perundungan fisik yang terdiri atas perilaku memukul, menendang, menampar, mencubit, meludah, menyandung, mendorong, membuat gerakan tangan yang kasar, dan menyentuh dengan cara yang tidak pantas atau tidak diinginkan korban.

Kedua, perundungan verbal, seperti penggunaan nama panggilan yang tidak diinginkan korban, menggoda, menghina, mengejek, mengintimidasi, berkomentar rasis, komentar seksual yang tidak pantas, dan mengancam.

Ketiga, perundungan sosial, termasuk perilaku menyebarkan rumor bohong, meninggalkan seseorang dengan sengaja, menyuruh orang lain tidak berteman dengan korban, mempermalukan korban di depan umum, merusak reputasi atau hubungan sosial korban.

Keempat, perundungan cyber (di dunia maya), termasuk mengirim atau memposting teks, gambar, dan video yang menyakitkan, membuat ancaman online, membuat akun palsu, menyebarkan rumor buruk secara online, dan sengaja mengecualikan seseorang secara online.

Prevalensi perundungan di Indonesia dilansir dari riset tahun 2015 oleh International Center for Research on Women (ICRW), anak usia 12-17 tahun sebanyak 84 persen mengaku pernah mengalami perundungan. Artinya, dari 10 anak, delapan di antaranya pernah menjadi korban.

Menurut Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) tahun 2018, 75 persen perlakuan perundungan dilakukan teman sendiri. Hanya 30 persen remaja laki-laki dan 40 persen remaja perempuan yang mampu bercerita secara terbuka kepada orang yang lebih dewasa. Perundungan menimbulkan dampak buruk dan berbahaya.

Baca Juga :  Wanita sebagai Perawan Tua

Dilansir dari beberapa hasil penelitian, para korban perundungan mengalami masalah kesehatan mental, termasuk kesepian, kecemasan, menurunnya performa di sekolah, self-esteem rendah, risiko depresi, hingga kecenderungan bunuh diri.

Beberapa program sekolah telah digalakkan dan telah diteliti efek positifnya. Program sekolah mampu menurunkan sekitar 20-23 persen (pelaku) dan 17-20 persen (korban) setelah sekolah berperan secara intensif dan berkelanjutan. Namun, ada program yang jauh lebih efektif untuk menurunkan angka kasus bullying yakni bantuan teman. Perundungan mampu diturunkan hingga 57 persen dari jumlah sebelumnya dengan peran teman sebaya yang aktif menghentikan perilaku perundungan.

Banyak kasus perundungan terjadi di tempat umum, seperti sekolah dan area bermain. Ada peran selain korban dan pelaku dalam sebuah aktivitas perundungan, yakni saksi. Terdapat penelitian yang menyebut bahwa perundungan sering lepas dari pengawasan orang dewasa, sehingga teman memiliki kesempatan yang jauh lebih besar dalam menyaksikan perilaku perundungan dibandingkan orang dewasa.

Teman yang menyaksikan perundungan memiliki reaksi yang berbeda-beda. Reaksi-reaksi teman ini memiliki efek positif negatif dalam interaksi pelaku dan korban.

Tipe pertama, teman yang justru memberikan bantuan pada pelaku, dia berperan langsung sebagai asisten dan hal ini meningkatkan perlakuan perundungan.

Tipe kedua, teman yang menguatkan pelaku secara tidak langsung, seperti tertawa atau tersenyum, sehingga pelaku memiliki semangat melakukan perundungan. Tipe ini disebut reinforcer (penguat bagi pelaku).

Tipe ketiga, teman yang memberikan reaksi netral, pura-pura tidak melihat, atau menjauh untuk menghindari situasi perundungan. Mereka yang disebut sebagai outsider (orang luar).

Tipe keempat, defender (pembela korban) yang mampu bertindak langsung menghentikan serangan bullying pelaku ke korban. Seperti membela korban atau berteriak minta pertolongan orang dewasa. Para defender inilah yang diharapkan hadir, peran yang dinantikan untuk mampu menurunkan prevalensi perundungan secara signifikan.

Baca Juga :  Menguji Pak Anas

Faktanya, hasil penelitian Gini (2015) pada 918 siswa usia 12-16 tahun menunjukkan, 56 persen saksi berperan sebagai asisten dan reinforce. Sedangkan 34,3 persen cenderung pasif, dan hanya 11.6 persen yang mampu berperan sebagai defender.

Pada dasarnya, saksi memiliki populasi lebih banyak dibanding pelaku. Kuantitas dengan porsi yang dominan merupakan salah satu kekuatan yang perlu disadari para saksi. Intervensi yang diberikan kepada saksi menjadi penting untuk dilakukan, dan memiliki potensi besar pengaruh positifnya. Jika para saksi bersatu mengembangkan empati, maka akan muncul perilaku menolong secara masif.

Setidaknya ada tiga aspek yang perlu dikembangkan oleh saksi agar mampu berperan sebagai defender.

Pertama, pembentukan sikap atau keyakinan terhadap bullying. Definisi, tipe, dan dampak bullying diinternalisasi dalam diri saksi. Hingga saksi mampu memunculkan keyakinan diri terhadap perilaku, bahwa perundungan memiliki efek bahaya, baik pada korban maupun pelaku, sehingga harus segera dihentikan.

Kedua, setelah keyakinan dibentuk lalu dikuatkan dengan norma subjektif yang selaras. Norma subjektif dapat dikuatkan dari harapan orang sekitar, bahwa mereka penting menampilkan perilaku menghentikan perundungan. Sehingga niat untuk bertindak semakin bulat.

Ketiga, merefleksi dari pengalaman yang telah terjadi terkait tantangan dan kesempatan menjadi saksi, lalu bermain peran ulang dengan menjadi defender, hingga mampu berperan aktif di kondisi nyata.

Memang tidak mudah menghentikan bullying. Namun, ketika lebih banyak pelajar yang memiliki pemahaman bahwa “bullying itu nggak keren” dan pemutusan rantai perundungan tidak hanya untuk kebaikan korban, namun juga kebaikan pelaku. Maka pengusahaan “stop bullying” harus dilakukan segera secara intensif dan berkelanjutan. (*)

 

*) Dosen Prodi Bimbingan dan Konseling Islam (BKI) Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam, IAIDA Blokagung, Banyuwangi.

PENCIPTAAN Lembaga Pendidikan yang kondusif, aman, dan nyaman, sebagai sarana pertumbuhan dan perkembangan anak didik, saat ini penuh dengan tantangan. Tantangan yang masih cukup menyita perhatian, kasus perundungan (bullying) terus meningkat.

Apa sebenarnya perundungan? Perilaku seperti apa yang termasuk perundungan? Apa yang harus dilakukan ketika melihat perundungan? Perundungan merupakan tindakan agresi dan disengaja yang dilakukan oleh kelompok atau individu secara berulang terhadap korban, hingga korban tidak mudah membela diri (Menesini & Salmivalli, 2017).

Ada poin yang perlu ditegaskan, sehingga masuk dalam ranah perilaku perundungan. Pertama, tindakan menyakiti atau melukai orang lain secara sengaja, baik fisik maupun psikis. Kedua, dilakukan berulang, artinya lebih dari sekali. Ketiga, korban tidak mudah membela diri, artinya ada kekuatan yang tidak imbang antara pelaku dan korban.

Beberapa tipe perundungan versi UNICEF.

Pertama, perundungan fisik yang terdiri atas perilaku memukul, menendang, menampar, mencubit, meludah, menyandung, mendorong, membuat gerakan tangan yang kasar, dan menyentuh dengan cara yang tidak pantas atau tidak diinginkan korban.

Kedua, perundungan verbal, seperti penggunaan nama panggilan yang tidak diinginkan korban, menggoda, menghina, mengejek, mengintimidasi, berkomentar rasis, komentar seksual yang tidak pantas, dan mengancam.

Ketiga, perundungan sosial, termasuk perilaku menyebarkan rumor bohong, meninggalkan seseorang dengan sengaja, menyuruh orang lain tidak berteman dengan korban, mempermalukan korban di depan umum, merusak reputasi atau hubungan sosial korban.

Keempat, perundungan cyber (di dunia maya), termasuk mengirim atau memposting teks, gambar, dan video yang menyakitkan, membuat ancaman online, membuat akun palsu, menyebarkan rumor buruk secara online, dan sengaja mengecualikan seseorang secara online.

Prevalensi perundungan di Indonesia dilansir dari riset tahun 2015 oleh International Center for Research on Women (ICRW), anak usia 12-17 tahun sebanyak 84 persen mengaku pernah mengalami perundungan. Artinya, dari 10 anak, delapan di antaranya pernah menjadi korban.

Menurut Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) tahun 2018, 75 persen perlakuan perundungan dilakukan teman sendiri. Hanya 30 persen remaja laki-laki dan 40 persen remaja perempuan yang mampu bercerita secara terbuka kepada orang yang lebih dewasa. Perundungan menimbulkan dampak buruk dan berbahaya.

Baca Juga :  Liga 1, Bahasa, dan Miniatur Indonesia

Dilansir dari beberapa hasil penelitian, para korban perundungan mengalami masalah kesehatan mental, termasuk kesepian, kecemasan, menurunnya performa di sekolah, self-esteem rendah, risiko depresi, hingga kecenderungan bunuh diri.

Beberapa program sekolah telah digalakkan dan telah diteliti efek positifnya. Program sekolah mampu menurunkan sekitar 20-23 persen (pelaku) dan 17-20 persen (korban) setelah sekolah berperan secara intensif dan berkelanjutan. Namun, ada program yang jauh lebih efektif untuk menurunkan angka kasus bullying yakni bantuan teman. Perundungan mampu diturunkan hingga 57 persen dari jumlah sebelumnya dengan peran teman sebaya yang aktif menghentikan perilaku perundungan.

Banyak kasus perundungan terjadi di tempat umum, seperti sekolah dan area bermain. Ada peran selain korban dan pelaku dalam sebuah aktivitas perundungan, yakni saksi. Terdapat penelitian yang menyebut bahwa perundungan sering lepas dari pengawasan orang dewasa, sehingga teman memiliki kesempatan yang jauh lebih besar dalam menyaksikan perilaku perundungan dibandingkan orang dewasa.

Teman yang menyaksikan perundungan memiliki reaksi yang berbeda-beda. Reaksi-reaksi teman ini memiliki efek positif negatif dalam interaksi pelaku dan korban.

Tipe pertama, teman yang justru memberikan bantuan pada pelaku, dia berperan langsung sebagai asisten dan hal ini meningkatkan perlakuan perundungan.

Tipe kedua, teman yang menguatkan pelaku secara tidak langsung, seperti tertawa atau tersenyum, sehingga pelaku memiliki semangat melakukan perundungan. Tipe ini disebut reinforcer (penguat bagi pelaku).

Tipe ketiga, teman yang memberikan reaksi netral, pura-pura tidak melihat, atau menjauh untuk menghindari situasi perundungan. Mereka yang disebut sebagai outsider (orang luar).

Tipe keempat, defender (pembela korban) yang mampu bertindak langsung menghentikan serangan bullying pelaku ke korban. Seperti membela korban atau berteriak minta pertolongan orang dewasa. Para defender inilah yang diharapkan hadir, peran yang dinantikan untuk mampu menurunkan prevalensi perundungan secara signifikan.

Baca Juga :  Jalan Panjang Menuju Optimistis dan Percaya Diri

Faktanya, hasil penelitian Gini (2015) pada 918 siswa usia 12-16 tahun menunjukkan, 56 persen saksi berperan sebagai asisten dan reinforce. Sedangkan 34,3 persen cenderung pasif, dan hanya 11.6 persen yang mampu berperan sebagai defender.

Pada dasarnya, saksi memiliki populasi lebih banyak dibanding pelaku. Kuantitas dengan porsi yang dominan merupakan salah satu kekuatan yang perlu disadari para saksi. Intervensi yang diberikan kepada saksi menjadi penting untuk dilakukan, dan memiliki potensi besar pengaruh positifnya. Jika para saksi bersatu mengembangkan empati, maka akan muncul perilaku menolong secara masif.

Setidaknya ada tiga aspek yang perlu dikembangkan oleh saksi agar mampu berperan sebagai defender.

Pertama, pembentukan sikap atau keyakinan terhadap bullying. Definisi, tipe, dan dampak bullying diinternalisasi dalam diri saksi. Hingga saksi mampu memunculkan keyakinan diri terhadap perilaku, bahwa perundungan memiliki efek bahaya, baik pada korban maupun pelaku, sehingga harus segera dihentikan.

Kedua, setelah keyakinan dibentuk lalu dikuatkan dengan norma subjektif yang selaras. Norma subjektif dapat dikuatkan dari harapan orang sekitar, bahwa mereka penting menampilkan perilaku menghentikan perundungan. Sehingga niat untuk bertindak semakin bulat.

Ketiga, merefleksi dari pengalaman yang telah terjadi terkait tantangan dan kesempatan menjadi saksi, lalu bermain peran ulang dengan menjadi defender, hingga mampu berperan aktif di kondisi nyata.

Memang tidak mudah menghentikan bullying. Namun, ketika lebih banyak pelajar yang memiliki pemahaman bahwa “bullying itu nggak keren” dan pemutusan rantai perundungan tidak hanya untuk kebaikan korban, namun juga kebaikan pelaku. Maka pengusahaan “stop bullying” harus dilakukan segera secara intensif dan berkelanjutan. (*)

 

*) Dosen Prodi Bimbingan dan Konseling Islam (BKI) Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam, IAIDA Blokagung, Banyuwangi.

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/