Tinggi yang Tertimbun Lupa

Oleh: Muhammad Aziz Rifqian*

KITA berangkat kabupaten ujung timur Pulau Jawa, Banyuwangi. Jika menyebut kata Banyuwangi, mungkin terbesit dalam pikiran adalah ‘mistis.’ Terlepas dari itu semua, Banyuwangi merupakan pewaris tradisi yang kental di Indonesia, terutama aspek seni dan tradisi.

Masyarakat Banyuwangi masih menjaga dan melestarikan adat. Tak perlu diragukan, dari banyaknya kesenian di Indonesia, beberapa di antaranya ada di Banyuwangi. Seperti lagu dan tarian ‘gandrung’ yang menjadi ikon Banyuwangi. Tarian yang diiringi musik tradisional itu telah berhasil menyita perhatian dunia.

Bahkan telah diadakan pertunjukan ‘Gandrung Sewu’ yang fenomenal. Ini menegaskan bahwa Banyuwangi bukan hanya dapat dikaitkan dengan hal yang gaib, namun Banyuwangi juga tentang seni dan tradisi.

Kemudian, ada lagi lagu jaran goyang. Siapa sih yang tidak tahu lagu jaran goyang? Kita tahu, jaran goyang merupakan lagu yang dipopulerkan penyanyi-penyanyi papan atas Jawa Timur. Siapa sangka, jaran goyang bermula dari sebuah tarian yang lahir pada tahun 1960-an. Banyak yang tidak mengetahui fakta yang sebenarnya. Melalui Lembaga LKN Banyuwangi, lahir tarian fenomenal jaran goyang.

Adalah Slamet Abdul Rajab atau populer dengan sebutan Slamet Menur, seniman berusia 82 tahun ini mulai menekuni dunia seni sejak remaja. Bukan hanya tari, musik angklung, dan banyak hal yang telah dilalui hingga akhirnya diciptakan beberapa tari yang kini digandrungi oleh banyak kalangan di Banyuwangi.

Mungkin kita juga mengenal sosok Sumitro sebagai pencipta tari yang kondang. Namun, Slamet Menur sendiri masih sangat asing di telinga milenial. Hal ini yang menggugah penulis untuk mengisahkan siapa sosok Slamet Menur. Apa saja karyanya? Bagaimana dia dapat berkecimpung di dunia kesenian?

Baca Juga :  Laboratorium Merdeka

Slamet Abdul Rajab populer dengan sebutan Selamet Menur karena dia mempunyai perusahaan percetakan bernama Menur pada tahun 1973. Itu juga bersamaan dengan berdirinya sanggar seni Angklung Soren. Slamet lahir di Banyuwangi tahun 1942, saat Jepang menjajah Nusantara. Sejak remaja, dia sudah mengenal dunia seni. Bukan hanya seni Jawa, juga Sumatera dan Bali. Hal ini yang mendorong berdirinya sanggar angklung soren dan terciptanya beberapa gerakan tari.

Sebelum dia mendirikan sanggar seni, ternyata Slamet sudah mulai mempelajari angklung sejak tahun 1960. Artinya ada selang waktu 12 tahun sebelum dia mendirikan sanggar seni sendiri. Kemudian tahun 1962, dia menciptakan gerakan tarian,di antaranya tari jaran goyang, padang wulan, genjer-genjer, sampai pada tari perawan sunti.

Dalam keseharianya, Slamet Menur adalah orang yang sederhana. Dia mengaku sebagai orang biasa, tapi biasanya orang menyebut dirinya seniman. Meskipun karyanya sudah terbilang banyak, namun ia tetap melabeli dirinya sebagai orang biasa. Orang biasa yang cinta seni. Seakan menegaskan bahwa setiap manusia itu sama, tidak ada yang berbeda.

Sebagai generasi muda, sepantasnya kita menimbulkan rasa ingin tahu yang tinggi akan hal bersejarah di Indonesia. Kita boleh mencintai kultur yang ada saat ini, namun tidak boleh meninggalkan kultur yang sudah mendarah daging. Kita seharusnya senantiasa menjaga dan melestarikan, bahkan mempelajari lebih dalam kultur kesenian Indonesia. Dengan tujuan, kita sebagai milenial menjadi penerus agar kelestarian budaya kesenian di Indonesia tidak punah. Tak sekadar mempelajari, kita juga harus mengenal sebuah budaya dengan hati dan juga perasaan yang tinggi.

Baca Juga :  Perubahan Perilaku Konsumsi Pangan Organik di Situbondo

Ibarat ‘tak kenal maka tak sayang’, inilah yang justru harus kita tanamkan dalam diri kita. Supaya kelak melalui tangan kita, budaya Indonesia dikenal bahkan sampai go internasional.

Kali ini, penulis ingin menuturkan bahwa sebenarnya seniman Indonesia, khususnya Slamet Menur tidak terlalu mementingkan mereka akan dikenal atau tidak. Selagi karya-karyanya masih ada dan dapat dinikmati, itu adalah sebuah kesenangan tersendiri bagi mereka.

Namun, apakah pantas jika kita generasi milenial hanya menikmati tanpa mengenal siapa penciptanya. Ibarat kita makan, tetapi kita tidak tahu siapa sang pemilik makanan, rasanya tidak sopan dan bertolak belakang dengan kultur bangsa Indonesia. Karena itu, penulis mengajak teman-teman di seluruh Indonesia untuk senantiasa mencintai dan menjaga budaya yang sudah diwariskan orang-orang terdahulu kita. Jangan sampai kesenian dan budaya kita dirampas orang lain, baru kita akan bergerak, seakan kita adalah orang yang paling menjaga. Jika itu semua terjadi, lantas kita bisa apa?

Maka, marilah kita jaga, rawat, dan lestarikan apa yang menjadi milik kita. Bukan hanya karyanya namun juga siapa yang menciptakan, agar kita senantiasa terjaga dan memiliki satu garis lurus kepada mereka yang telah berjuang sebelum kita. Dahulu mereka berjuang memperebutkan, namun saat ini kita hanya tinggal menjaga dan melestarikan apa yang sudah mereka perjuangkan. (*)

*) Mahasiswa Tadris Bahasa Indonesia, IAI Darussalam, Blokagung, Banyuwangi.