ALHAMDULILLAH. Ucapan syukur itu tak henti terucap. Terus menyibukkan mulut dan lidah. Juga hati saya. ”Ternyata daerahku masih lebih baik,” aku tercenung.
Ceritanya bermula dari rapat evaluasi triwulan empat (akhir tahun) kinerja 2022 grup Jawa Pos Radar (JPR) Di Tulungagung. Pada 24–25 Januari 2023. Diikuti 19 perusahaan JPR Group. Mulai dari Jogjakarta, Jateng, Jatim, hingga Bali.
Seperti biasa, setiap kali rapat grup, saya dan tim manajer Jawa Pos Radar Banyuwangi (JP-RaBa) memilih berangkat lebih awal. Supaya lebih santai dalam perjalanan. Agar bisa melaksanakan salat lebih leluasa—sesuai waktunya yang lima. Tidak perlu menjamaknya—meski ada dispensasi bisa menjamak salat bagi pelaku perjalanan.
Tujuan utamanya: bisa salat di beberapa masjid di sepanjang perjalanan. Terutama di masjid jami dan masjid agungnya. Selain meninggalkan banyak bekas sujud di banyak masjid, juga bisa menikmati keindahan arsitektur setiap masjid yang kami singgahi. Bahkan, lengkap dengan sejarahnya pula. Salat di masjid seperti itu meninggalkan pengamalan batin tersendiri. Dan, secara spontan hati dan mulut mendoakan para pemakmur masjidnya—mulai pendiri hingga takmir saat ini.
Seperti saat salat Magrib di Masjid Baid Ar Rahman (MBR) Blitar. Masjid megah itu berdiri di Jalan Ciliwung, Kelurahan Bendo, Kecamatan Panjen Kidul, Kota Blitar. Kami terkagum-kagum pada atmosfer arsitekturnya. Gaya arsitektur Utsmaniyah-Mamluk begitu kentalnya. Serasa sedang berada di dalam Masjid Nabawi, Madinah.
Nuansa Masjid Nabawi sudah terasa begitu kaki menginjak halaman masjid. Deretan pilar payung-payung khas halaman Masjid Nabawi mengembang. Menyambut para tamu Allah yang hendak salat—sekaligus berwisata religi karena MBR masuk destinasi wisata Kota Blitar. Masih dari luar masjid, pandangan mata langsung tersedot pada kubah hijau bersama menaranya.
MBR memiliki 11 pintu masuk. Ukurannya jumbo dan tampak megah. Lebar dua meter dan tinggi tiga meter. Terbuat dari kayu jati. Dilapisi ukiran tembaga bermotif kaligrafi menawan. Pilar lengkung dalam masjid bermotif kotak-kotak hijau tua kombinasi putih menguatkan suasana Masjid Nabawi-nya.
Salat di dalam MBR bukan hanya menghadap kiblat. Tapi langsung menghadap Kakbah. Betapa tidak. Dinding mihrab yang begitu lebar dan tinggi terbentang motif pintu Kakbah lengkap dengan kiswahnya. Tak ketinggalan, aroma parfum karpet Masjid Nabawi juga tercium kuat saat sujud di karpet MBR.
Dari data yang terkumpul, MBR dibangun oleh Abah Hariyanto. Pengalaman berhaji pertamanya meninggalkan kesan mendalam bagi pengusaha ternama Kota Blitar itu. Dia sangat terobsesi. Sejak saat itu, dia ingin setiap saat bisa merasakan suasana dan nuansa beribadah di Masjid Nabawi. Maka, dia bangun MBR di atas lahan 5.000 meter persegi. Selama setahun persis. Dimulai pada 24 Desember 2018, rampung 25 Desember 2019.
Begitu selesai salat Magrib, saya mengucap syukur. Punya kesempatan salat di Masjid Nabawi-nya Kota Blitar. Tak lupa pula mendoakan Haji Abah Hariyanto dan seluruh takmir MBR. Pasti tak mudah menangani masjid dengan ribuan pengunjung setiap harinya. Termasuk menyiapkan kopi dan air mineral gratis. Yang dijajar di beberapa tempat di selasar masuk masjid.
Syukur kedua terucap di Tulungagung. Tepatnya, saat jalan-jalan pagi. Menyusuri Kota Tulungagung. Ketika jalanan masih sepi. Sepi sekali. Hanya satu dua kendaraan lalu-lalang. Keramaian baru terasa ketika masuk Alun-Alun. Mulai banyak orang berolahraga.
Sejak keluar dari Hotel Lojikka di Jalan Agus Salim, hati saya dan teman-teman terasa ngenes. ”Kok begini trotoarnya. Sangat ketinggalan. Tegelnya sangat tidak up to date. Sudah tidak ada diproduksi lagi ini,” komen Syaifuddin Mahmud.
Pemred JP-RaBa itu merasa malu besar. Maklum. Pak Aif—sapaan Syaifuddin, memang lahir di Tulungagung. Dia tidak bisa menerima kondisi kota tanah kelahirannya begitu memprihatinkan. Sepanjang trotoar yang kami lalui sudah usang semua. Di beberapa bagian bahkan tampak sudah jebol. Dan, dibiarkan. Kami sudah keliling, tidak menemukan lantai khusus bagi teman-teman difabel di pedestrian yang kami lalui.
Hati Pak Aif makin muntab, saat mengelilingi Alun-Alun Kota. Sama sekali jauh dari kesan indah. Pohon dan tanaman di dalam Alun-Alun tumbuh begitu saja. Kandang doro tampak di beberapa sudut. Terkesan tak terurus. Tak tampak sentuhan arsitektur sama sekali.
Kondisi pendapa kabupaten yang berada persis di seberang Alun-Alun Kota tak kalah mengenaskan. Taman yang membelah jalan masuk dan keluar pendapa, tak mengesankan sebagai taman. Bangunan joglo pendapanya sebenarnya lumayan bagus. Tapi lingkungan sekitarnya, terutama taman di balik gerbang masuk, tampak seperti taman apa adanya. Jauh dari kesan indah!
Entah apa yang sedang terjadi dengan Tulungagung. Konon, pemerintahnya sedang fokus nggarap destinasi baru Pantai Widodaren. Setali tiga uang. Kondisi pantai itu masih jauh dari kesan objek wisata unggulan. Infrastrukturnya masih belum tergarap. Saat hendak masuk ke kawasan utama Widodaren, kami sempat nyasar ke area pertambakan.
Apa pun, alasan fokus membenahi destinasi dan ”meninggalkan” pembangunan kota, adalah salah besar. Setidaknya, cara berpikirnya yang harus diluruskan. Buat apa punya destinasi ”wah”, sementara kotanya tidak ditata. Tidak indah. Kan wisatawan biasanya menginap di pusat kota. Bukan di lokasi destinasi wisata. Di pusat kotalah perputaran uang/ekonomi terjadi. Dengan kota yang indah, wisatawan bisa betah. Berlama-lama.
Saya berusaha ngedem-ngedem emosi Pak Aif. ”Karena kita sudah terbiasa jalan-jalan di Banyuwangi yang bersih,” kata saya sambil meneruskan jalan-jalan pagi sambil mengucap syukur dalam hati, ”ternyata, Banyuwangi masih jauh lebih bersih dan indah dari Tulungagung.”
Wa bakdu. Kembali ke Hotel Lojikka. Lantai 7 hotel bintang tiga itu menjadi tempat kami mengucap syukur yang ketiga. Di ujung rapat evaluasi JPR Group 2022, JP-RaBa diumumkan sebagai juara. Perusahaan dengan kinerja terbaik pertama di kelompok AA. Sebuah prestasi yang diimpikan 19 Radar se-Jogja, Jateng, Jatim, dan Bali, setiap rapat evaluasi kinerja perusahaan tahunan. Karena penilaiannya dilakukan secara independen. Berdasarkan pada lima parameter yang terbuka.
Tak lupa saya berbagi syukur dengan para mitra usaha, pembaca setia, serta para narasumber media kami. Tanpa mereka, kami bukan apa-apa dan tidak bisa menjadi apa-apa. (Pekolom Banyuwangi)