Jagal Adimarga

Oleh: Samsudin Adlawi

MOMEN apa yang membuat Anda sedih—bahkan sampai menitikkan air mata?

Pasti banyak. Saya pun demikian. Ketika ada pohon besar dipotong sembarangan, hati saya langsung teriris. Itulah momen paling menyedihkan. Di antara momen-momen pilu. Yang saya rasakan.

Ya. Di mana pun pohon besar itu berada. Tak peduli. Pastinya, hati ini langsung berontak. Tidak rela. Begitu melihat pohon itu dirobohkan dengan paksa. Tanpa alasan yang jelas.

Langsung terbayang perjalanan panjang pohon itu. Mulai baru bertunas ketika awal ditanam. Sampai tumbuh besar. Dalam asuhan hujan dan panas. Perjalanan yang dilalui begitu lama. Puluhan bahkan belasan tahun. Ia menjadi saksi bisu. Apa pun yang terjadi di sekitarnya.

Pilu ini semakin menjadi-jadi. Ketika menjumpai ada pohon besar di pinggir jalan dipotong secara serampangan. Tanpa memedulikan aspek estetika. Si penebang tidak paham (atau sebenarnya paham, tapi pura-pura saja tidak paham) tujuan pohon itu ditanam dahulu kala.

Setidaknya ada dua tujuan utama. Pertama, pihak penanam (c.q. bagian pertamanan pemerintah) menanam pohon di kota untuk city dressing. Mempercantik wajah kotanya. Utamanya di sepanjang adimarga. Bulevar. Jalan raya yang besar. Biasanya dengan deretan pohon di kiri-kanannya. Pohon-pohon besar itu dirawat dengan baik. Dahan dan rantingnya ditebas dengan penuh kehati-hatian. Agar tetap eksotik. Meski dipangkas sebagian.

Tujuan kedua tidak kalah pentingnya. Penanaman pohon sengaja dilakukan sebagai paru-paru kota. Itu sebabnya, bibit yang ditanam tidak hanya dipilihkan yang bisa mempercantik kota. Melainkan juga dari jenis tanaman keras yang berdahan dan berdaun lebat. Tapi tidak sampai mengganggu lalu-lalang laju lalu lintas di bawahnya. Bayangkan, sebuah kota miskin adimarga. Yang tampak hanya pohon-pohon beton alias sadeng atawa tiang listrik dari beton. Lalu di seberang pedestrian pinggir jalannya berdempetan bangunan-bangunan berdinding kaca. Bagi sebagian orang, pemandangan seperti itu sangat menarik: ”Kota ini sangat modern,” kata mereka.

Baca Juga :  Umyah Tawon

Lah, apa enaknya hidup di kota modern tapi miskin oksigen. Bukankah bagi manusia, oksigen merupakan salah satu gas yang esensial. Sangat penting.

Semua tahu, salah satu penghasil okseigen terbesar itu siapa.

Tumbuhan!

Melalui fotosintesis, tumbuhan bisa menghasilkan oksigen. Proses fotosintesis menggunakan sinar matahari, H2O (lambang air), dan karbon dioksida (CO2) untuk membentuk gula dan oksigen. Pelajaran seperti itu sudah kita peroleh saat di bangku SMP. Bahkan, diulang di SMA, bukan?

Dulu, konon, pemotongan pohon di sepanjang pinggir jalan protokol diperbolehkan. Diizinkan oleh pemerintah. Dengan syarat khusus: harus menggantinya dengan sekian pohon baru. Untuk ditanam di tempat yang lain. Aturan itu kelihatan normal-normal saja. Tidak menimbulkan dampak. Apalagi, yang punya pemikiran pendek: ”Kan pemerintah untung. Kehilangan satu dapat beberapa pohon pengganti’’.

Itu pemikiran naif. Tidak berpikir bahwa untuk mengganti pohon sebesar yang ditebang butuh puluhan tahun. Lebih berbahaya lagi, bila satu per satu pohon besar di kawasan adimarga dipotong, maka lama-kelamaan kan menjadi habis. Lingkungan sekitar menjadi gersang. Yang tampak jelas hanyalah deretan rumah dan toko. Sangat tidak menarik. Tapi, masih saja ada orang yang mengatakan menarik. Meski tanpa pohon perindang.

Saya jadi teringat cerita tentang awal-awal pembangunan Bandara Internasional Banyuwangi. Cerita itu sering disampaikan Pak Abdullah Azwar Anas. Ketika memberi sambutan sebagai bupati Banyuwangi, dulu.

”Kenapa bandara tidak dibangun dengan desain yang modern, Pak. Seperti bandara-bandara besar lainnya, Bandara Soekarno-Hatta atau Juanda. Megah dan mentereng,’’ tutur Pak Anas menirukan masukan dari seorang pengusaha.

Baca Juga :  Dunia Sedang Sakit

Menpan-RB itu menyebut, komentar itu dari pengusaha setengah kaya. Yang masih memikirkan bangunan mewah. Besar dengan dinding kaca. Ruangannya dingin dengan AC sentral. Lantainya berkarpet mahal. Tapi, lanjut Anas, beda lagi komentar orang kaya yang benar-benar kaya. ”Mereka mengacungkan jempol dua. Memuji keberanian saya membangun bandara dengan memasukkan unsur-unsur kearifan lokal di dalamnya. Mereka mengatakan, dengan desain arsitekturnya yang unik dan kawasan sekitarnya masih berupa hamparan sawah, Bandara Banyuwangi akan menjadi bandara hebat di kemudian hari.’’

Ternyata benar. Selera pengusaha yang terakhir menjadi kenyataan. Bandara Banyuwangi yang didesain oleh arsitek Andramatin itu diakui dunia. Ditetapkan sebagai pemenang Aga Khan Architectur Award 2023. Sebuah penghargaan prestisius di bidang arsitektur.

Wa bakdu. Yang ndeso dengan tetap mempertahankan sawah di sekelilingnya, ternyata bisa mendapat penghargaan internasional. Kenapa kita masih memuja modernisasi. Yang terpenting adalah konsep. Dengan konsep jelas dan menonjolkan kearifan lokal, kita bisa menghadirkan ”sesuatu banget’’.

Pelajarannya: masihkah kita akan menebangi pohon-pohon di pinggir kanan-kiri jalan protokol, demi menuruti kemauan satu-dua orang. Yakni, orang yang menganggap pohon besar di pinggir jalan depan rumahnya/tempat usahanya sangat mengganggu. Padahal, kalau mau mengalah yang bersangkutan bisa menggeser pintu masuk pagar garasinya atau pintu tempat usahanya. Bukan menyalahkan pohon yang tidak berdosa dan menghabisinya.

Bisa dipertanyakan selera orang yang mengatakan, keberadaan pohon pinggir jalan rasa depan rumahnya itu mengganggu. Mestinya ia bersyukur. Bisa menghirup oksigen lebih banyak, dibanding mereka yang tinggal di rumah dengan lingkungan tanpa pohon satu pun. Betapa tersiksanya.

*) Pekolom Banyuwangi