29.1 C
Banyuwangi
Thursday, March 23, 2023

Oleh : Samsudin Adlawi (MAN-Nahnu : 266)

City Dressing

JANGAN menuduh saya sok ng-Inggris. Terpaksa. Ya, terpaksa saya gunakan istilah Inggris itu untuk judul. Karena saya kesulitan mencari padanan yang pas. Dalam bahasa Indonesia—setidaknya hingga catatan ini ditulis. Tapi, saya merasakan daya tarik luar biasa darinya.

Bila dipaksakan dengan dua kata juga, bisa diartikan ke dalam bahasa kita menjadi: balutan kota. Terjemahan dressing sendiri adalah berpakaian. Sedangkan city bermakna kota. Bila diartikan secara letterlijk menjadi ”kota berpakaian”. Tidak, ah. Masak seperti itu.

Harus dicarikan padanan frasa yang tepat. Harus dikembangkan dari makna harfiahnya. Tapi tidak melenceng teramat jauh dari arti kata per kata bahasa Inggrisnya. Akhirnya, ketemulah arti yang paling mendekati—menurut saya. Yakni, ”membalut kota sebagai upaya promosi”. Silakan pembaca mengartikan dengan yang lain. Gak papa. Boleh-boleh saja. Hahaha….

Sambil menunggu Anda menemukan arti yang tepat, izinkan saya menggunakan terjemahan ”membalut kota sebagai upaya promosi”.  Yang kemudian saya perluas lagi menjadi ”mempercantik kota” dan atau ”mempersolek kota”. Tapi, dua arti tambahan itu sudah masuk ke dalam ”membalut kota”.

Dalam membalut kota, tentu saja, harus dilakukan beberapa hal. Strategi itu. Program yang mumpuni. Di antara program dan strategi itu adalah dengan cara mempercantik dan mempersoleknya. Dua langkah itu sangat mendasar. Setelah diperindah, kota akan tampak elok dan cantik.

Mulai terang arti city dressing. Tapi, sebagai strategi, setiap program yang baik harus punya tujuan. Dari tujuannya, akan diketahui hasil seperti apa yang ingin dicapai. Tujuan city dressing umumnya untuk mengangkat citra kota. Lizalik, pemermakan sebuah kota/daerah sebagai bagian dari promosi.

Baca Juga :  Masa Pengenalan Lingkungan Perpustakaan

Lalu, muncul pertanyaan: siapa yang harus melakukan city dressing? Kota atau daerah macam apa yang kudu melakukannya. Yang sudah majukah? Atau, malah yang belum maju sama sekali? Atawa, yang sedang-sedang saja. Tiga-tiganya. Ya. Ketiga level kota/daerah itu boleh melakukannya. Asal ada kemauan. Punya semangat untuk maju.

Kota/daerah yang belum maju, umumnya, punya semangat juang ’45. Lebih menggebu-gebu. Ingin tempatnya cepat dikenal khalayak ramai. Dikunjungi banyak orang. Dengan beragam tujuan. Mulai bisnis hingga berwisata.

Tapi, tidak semua daerah/kota punya ghirah sedemikian. Bahkan, boleh dibilang, tak banyak jumlahnya. Hanya pemimpin yang punya wawasan memadailah yang mau melakukannya. Pengetahuan akan pentingnya sosialiasi membuat seorang pemimpin berani mengambil langkah-langkah strategis, untuk memajukan daerahnya.

Dan, pemimpin seperti punya kesadaran tinggi: bahwa promosi merupakan alat paling jitu untuk mengenalkan daerahnya. Dia juga sadar, promosi tidak bisa dilakukan secara serampangan. Harus melalui perencanaan dan strategi yang bagus. Yang rasional.

Dia berangkat dari sebuah pertanyaan mendasar: apa yang dipromosikan kalau materinya tidak ada. Masak kotanya yang biasa-biasa saja mau dipromosikan. Ada pula pemimpin yang terbilang nekat. Ia membuat acara jor-joran. Gebyar-byar. Mengundang banyak orang. Ribuan dan puluhan ribu orang datang ke kotanya. Menyaksikan acara yang disajikan.

Tapi, yang terjadi kemudian di luar ekspektasinya. Mereka yang datang lebih banyak ngomel-ngomel, daripada mengumbar puja-puji. Mereka merasa kapok. Langsung mengumbar sumpah serapah: ”kami tidak akan pernah datang lagi ke sini. Kota macam apa ini. Sama sekali tidak menarik. Kotor sekali. Tak tertata. Tak terurus”.

Baca Juga :  Amankah Gadget bagi Anak Usia Dini?

Tidak berhenti mengumbar sumpah. Mereka umbar kekecewaannya di media sosial yang dimiliki. Lengkap dengan foto-foto hasil hunting-nya—foto yang mewakili kekecewaannya, tentu saja. Foto dan komen negatif diunggahnya di berbagai grup yang diikutinya. Dlsb. Kampanye hitam itu menyebar luas. Dalam sekejap. Hingga penghuni jagat maya mengetahuinya.

Tentu, tidak ada yang berharap hal itu terjadi.

Wa bakdu. Kesadaran tinggi tentang pentingnya city dressing biasanya dimiliki kota/daerah maju. Yang sudah mapan. Mereka ingin selalu mempertahankan posisinya. Jangan sampai mengalami penurunan. Bahkan, ingin terus mengembangkannya. Lagi. Lagi. Dan, lagi.

Kota yang sudah indah—sebenarnya, di-dressing lagi. Agar lebih elok lagi, lebih eksotik. Ditambah sana-sini. Bila perlu dilakukan perombakan yang frontal. Selain menghilangkan kejenuhan dan kebosanan, langkah itu diambil untuk mengikuti perkembangan zaman. Perubahan menjadi sebuah keniscayaan. Tidak berubah sama dengan kemunduran. Kejumudan identik dengan ketertinggalan.

Maka, jangan heran, bila setiap kali datang ke sebuah kota/daerah dalam waktu berbeda, Anda selalu menemukan hal-hal baru. Yang tidak ada di momen kunjungan sebelumnya. Baik hanya menyasar pernak-pernik kecil, sampai ke hal baru yang benar-benar baru.

Pertanyaannya: bagaimana dengan kota/daerah tempat tinggal Anda. Sudahkah melakukan city dressing? Hasilnya seperti apa? Jawaban Anda pasti menarik. (Pekolom Banyuwangi)

 

 

JANGAN menuduh saya sok ng-Inggris. Terpaksa. Ya, terpaksa saya gunakan istilah Inggris itu untuk judul. Karena saya kesulitan mencari padanan yang pas. Dalam bahasa Indonesia—setidaknya hingga catatan ini ditulis. Tapi, saya merasakan daya tarik luar biasa darinya.

Bila dipaksakan dengan dua kata juga, bisa diartikan ke dalam bahasa kita menjadi: balutan kota. Terjemahan dressing sendiri adalah berpakaian. Sedangkan city bermakna kota. Bila diartikan secara letterlijk menjadi ”kota berpakaian”. Tidak, ah. Masak seperti itu.

Harus dicarikan padanan frasa yang tepat. Harus dikembangkan dari makna harfiahnya. Tapi tidak melenceng teramat jauh dari arti kata per kata bahasa Inggrisnya. Akhirnya, ketemulah arti yang paling mendekati—menurut saya. Yakni, ”membalut kota sebagai upaya promosi”. Silakan pembaca mengartikan dengan yang lain. Gak papa. Boleh-boleh saja. Hahaha….

Sambil menunggu Anda menemukan arti yang tepat, izinkan saya menggunakan terjemahan ”membalut kota sebagai upaya promosi”.  Yang kemudian saya perluas lagi menjadi ”mempercantik kota” dan atau ”mempersolek kota”. Tapi, dua arti tambahan itu sudah masuk ke dalam ”membalut kota”.

Dalam membalut kota, tentu saja, harus dilakukan beberapa hal. Strategi itu. Program yang mumpuni. Di antara program dan strategi itu adalah dengan cara mempercantik dan mempersoleknya. Dua langkah itu sangat mendasar. Setelah diperindah, kota akan tampak elok dan cantik.

Mulai terang arti city dressing. Tapi, sebagai strategi, setiap program yang baik harus punya tujuan. Dari tujuannya, akan diketahui hasil seperti apa yang ingin dicapai. Tujuan city dressing umumnya untuk mengangkat citra kota. Lizalik, pemermakan sebuah kota/daerah sebagai bagian dari promosi.

Baca Juga :  Amankah Gadget bagi Anak Usia Dini?

Lalu, muncul pertanyaan: siapa yang harus melakukan city dressing? Kota atau daerah macam apa yang kudu melakukannya. Yang sudah majukah? Atau, malah yang belum maju sama sekali? Atawa, yang sedang-sedang saja. Tiga-tiganya. Ya. Ketiga level kota/daerah itu boleh melakukannya. Asal ada kemauan. Punya semangat untuk maju.

Kota/daerah yang belum maju, umumnya, punya semangat juang ’45. Lebih menggebu-gebu. Ingin tempatnya cepat dikenal khalayak ramai. Dikunjungi banyak orang. Dengan beragam tujuan. Mulai bisnis hingga berwisata.

Tapi, tidak semua daerah/kota punya ghirah sedemikian. Bahkan, boleh dibilang, tak banyak jumlahnya. Hanya pemimpin yang punya wawasan memadailah yang mau melakukannya. Pengetahuan akan pentingnya sosialiasi membuat seorang pemimpin berani mengambil langkah-langkah strategis, untuk memajukan daerahnya.

Dan, pemimpin seperti punya kesadaran tinggi: bahwa promosi merupakan alat paling jitu untuk mengenalkan daerahnya. Dia juga sadar, promosi tidak bisa dilakukan secara serampangan. Harus melalui perencanaan dan strategi yang bagus. Yang rasional.

Dia berangkat dari sebuah pertanyaan mendasar: apa yang dipromosikan kalau materinya tidak ada. Masak kotanya yang biasa-biasa saja mau dipromosikan. Ada pula pemimpin yang terbilang nekat. Ia membuat acara jor-joran. Gebyar-byar. Mengundang banyak orang. Ribuan dan puluhan ribu orang datang ke kotanya. Menyaksikan acara yang disajikan.

Tapi, yang terjadi kemudian di luar ekspektasinya. Mereka yang datang lebih banyak ngomel-ngomel, daripada mengumbar puja-puji. Mereka merasa kapok. Langsung mengumbar sumpah serapah: ”kami tidak akan pernah datang lagi ke sini. Kota macam apa ini. Sama sekali tidak menarik. Kotor sekali. Tak tertata. Tak terurus”.

Baca Juga :  Sebelum Perda Janur Makin Layu

Tidak berhenti mengumbar sumpah. Mereka umbar kekecewaannya di media sosial yang dimiliki. Lengkap dengan foto-foto hasil hunting-nya—foto yang mewakili kekecewaannya, tentu saja. Foto dan komen negatif diunggahnya di berbagai grup yang diikutinya. Dlsb. Kampanye hitam itu menyebar luas. Dalam sekejap. Hingga penghuni jagat maya mengetahuinya.

Tentu, tidak ada yang berharap hal itu terjadi.

Wa bakdu. Kesadaran tinggi tentang pentingnya city dressing biasanya dimiliki kota/daerah maju. Yang sudah mapan. Mereka ingin selalu mempertahankan posisinya. Jangan sampai mengalami penurunan. Bahkan, ingin terus mengembangkannya. Lagi. Lagi. Dan, lagi.

Kota yang sudah indah—sebenarnya, di-dressing lagi. Agar lebih elok lagi, lebih eksotik. Ditambah sana-sini. Bila perlu dilakukan perombakan yang frontal. Selain menghilangkan kejenuhan dan kebosanan, langkah itu diambil untuk mengikuti perkembangan zaman. Perubahan menjadi sebuah keniscayaan. Tidak berubah sama dengan kemunduran. Kejumudan identik dengan ketertinggalan.

Maka, jangan heran, bila setiap kali datang ke sebuah kota/daerah dalam waktu berbeda, Anda selalu menemukan hal-hal baru. Yang tidak ada di momen kunjungan sebelumnya. Baik hanya menyasar pernak-pernik kecil, sampai ke hal baru yang benar-benar baru.

Pertanyaannya: bagaimana dengan kota/daerah tempat tinggal Anda. Sudahkah melakukan city dressing? Hasilnya seperti apa? Jawaban Anda pasti menarik. (Pekolom Banyuwangi)

 

 

Artikel Terkait

Jagal Adimarga

Bukan Sembarang Olok-Olok

Mutiara Terpendam di Kalilo

Sami Mawon atau….

Riuh B-Fest 2023

Most Read

Artikel Terbaru

/