DELAPAN daerah di Jawa Timur masuk KEN (Kharisma Event Nusantara)—program promosi pariwisata Kemenparekraf RI. Satu di antaranya adalah Banyuwangi.
Bagi Bumi Blambangan, masuk KEN tidak sepenuhnya mengejutkan. Kecuali masuknya BEC (Banyuwangi Ethno Carnival). Ya, ditambah BEC, ada dua event Banyuwangi dalam KEN 2023: BEC dan Gandrung Sewu (GS).
Terbanyak di Jatim.
Itu membanggakan. Semakin mengukuhkan Kota Gandrung sebagai Kota Festival. Makin menginspirasi daerah lain. Kemarin saya dari Madura. Di tempat-tempat strategis di Kota Sumenep, terpampang baliho besar. Isinya puluhan festival selama 2023.
Masuk KEN adalah berkah. Selain promosi gratis (jadi satu paket dengan agenda KEN se-Indonesia), juga ada cipratan dana operasional. Banyak tidaknya orang Dispar Banyuwangi yang tahu. Hehehe….
Orang menganggap masuk KEN itu keren. Tapi bila tak ditangani serius, berkah pun berubah jadi bencana. Serius itu, antara lain, dikerjakan secara profesional. Tanda-tanda profesional adalah selalu up to date. Mengulang-ulang tampilan yang sama itu tidak up to date. Tidak melek perkembangan. Seperti katak, hanya asyik dalam tempurung. Merasa besar dan hebat, dari kacamatanya sendiri. Tidak (mau) tahu perkembangan yang terjadi di luar saja.
Tidak profesional itu bila menyepelekan orang lain. Menganggap idenya yang paling benar—sekalipun masukan datang dari kalangan orang yang lebih profesional dan ahlinya ahli.
Dan, sikap tidak profesional berikutnya ketika suka meremehkan pihak lain. Terbiasa membanding-bandingkan dengan pihak lain yang event-nya sekelas dan bahkan di bawah kelasnya.
Orang profesional suka tantangan. Bila membuat event, ia akan mencari pembanding event dengan kualitas di atasnya. Atau, minimal yang sama, kualitasnya unda-undi. Dengan begitu, ia akan membuat event yang lebih baik. Ia pelajari dengan saksama. Kelemahan atau kekurangan event orang lain dijadikan kekuatan dalam menyusun materi event-nya.
Dalam pertemuan di pelinggihan Dinas Pariwisata Banyuwangi bersama para pihak terkait, pekan lalu, saya sampaikan, masuk KEN luar biasa. Tapi, juga bisa menjadi biasa-biasa saja. Bila ditangani dengan biasa-biasa juga.
Biasa-biasa itu bila tak ada yang baru dalam GS dan BEC 2023. Atau, hanya mengulang-ulang GS dan BEC yang sebelumnya. Judul dan temanya saja yang berubah. Kostumnya saja yang berbeda. Tapi gerakan-gerakan tarinya sejatinya sama. Perubahannya hanya pada pola lantai.
Untuk BEC malah lebih parah. Warna dan desain aksesorinya memang beda. Karena tuntutan tema. Tapi, bentuk desainnya sama. Selalu ada lengkungan di belakang, pecut, selendang panjang, topi/mahkota tinggi, rok mekrok, dll.
Tidak banyak usul saya sampaikan. Untuk GS saya ingatkan pentingnya memikirkan penonton. Pentingnya memberi ”oleh-oleh” untuk penonton. Apa yang dibawa pulang penonton, setelah melihat GS. Haruskah mereka pulang membawa ”oleh-oleh” yang sama dengan tahun sebelumnya: kekecewaan. Tidak ada kesan mendalam dari tontonan yang baru dilihatnya.
Beda kalau setelah menonton mereka mendapat ”ilmu”. Entah dari penyajian pertunjukan secara keseluruhan. Atau hanya sebagian kecil. Misal, GS 2023 tidak hanya mempertontonkan tarian klasik gandrung. Tapi, di bagian tengah atau akhirnya, ada gerakan-gerakan kontemporer—masih berbasis gerakan tarian gandrung, tentunya.
Usul kedua terkait komposisi. Misalnya, mengubah posisi wiyaga. Yang dari tahun ke tahun selalu berada di arah tenggara panggung GS di Pantai Boom. Silakan dipindah ke belakang, lukiran dengan panggung back-drop—yang juga jumud di tempat sama, dari tahun ke tahun.
Masih soal komposisi, menarik kalau dicoba trik flash-mob. Yakni, melibatkan penonton dalam bagian pertunjukkan. ”Silakan ’culik’ 100 atau 200 penonton dari tempat menontonnya. Pasangkan omprog di kepalanya, selendangkan sampur di pundaknya, lalu ajak ke tengah panggung,” usul saya.
Begitu melihat ratusan penonton menjadi penari dadakan, menari serasi dengan seribu gandrung, pasti penonton akan heboh. Terutama penonton dari luar daerah. Lokasi GS akan gemuruh oleh tepuk tangan dan pujian; ”Wah, hebat ya. Orang-orang Banyuwangi memang pintar menari semua”.
Padahal, itu sudah diskenario sejak awal. Ratusan penonton yang diculik sejatinya punya basic menari gandrung. Hanya mereka kurang beruntung. Tidak lolos kurasi.
Wa bakdu. Khusus untuk BEC, usul saya lebih singkat. Libatkan sekolah sepenuh hati. Beri tim sekolah mendesain sampai menuntaskan sendiri kostumnya. Jangan lagi siswa yang menjadi talent BEC, lebih memilih ”membeli” kostumnya ke tukang pembuat kostum. Sekolah-sekolah siap kok kalau benar-benar diberi kepercayaan. Asal prosedur dan prosesnya benar.
Yang juga mendesak dilakukan untuk BEC, adalah musik pengiringnya. Selama ini musik pengiring statis. Hanya beraksi di panggung utama. Walhasil, selepas panggung utama, para talent berjalan tanpa iringan musik. Mereka berjalan menuju finis koyok uwong edan. Sudah begitu jadi objek aksi jahilan penonton. Betapa tersiksanya.
Seperti para pengusul lainnya, saya juga pesimistis, usulan-usulan itu bisa membuat perubahan. Pengalaman membuktikan, selama ini sudah tak terhitung seberapa tinggi usulan yang disampaikan. Tapi, tetap saja tidak ada perubahan yang signifikan. Nasib oh nasib oh nasiiib….
*) Pekolom Banyuwangi)