30.8 C
Banyuwangi
Tuesday, March 21, 2023

Oleh : Samsudin Adlawi (MAN Nahnu - 265)

Bukan Sembarang Olok-Olok

AKHIRNYA terjadi juga. Sesuatu yang ditakutkan selama ini. Di tengah prestasi glamor di hampir segala bidang, tiba-tiba menyeruak kejadian memilukan. Memprihatinkan. Menodai kegemilangan yang terus diukir oleh Banyuwangi.

Kota the Sunrise of Java mengawali 2023 dengan prestasi di bidang lingkungan hidup. Bumi Blambangan memperoleh sertifikat Adipura 2023. Dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI. Atas peningkatan kinerjanya dalam pengelolaan sampah. Sertifikat diserahkan oleh Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar kepada Asisten Perekonomian dan Pembangunan Pemkab Banyuwangi Dwi Yanto (mewakili Bupati Ipuk Fiestiandani), di Jakarta, 28 Februari 2023 lalu.

Sayang seribu kali sayang, sehari sebelum mendapat penghargaan itu, tersiar kabar menggemparkan dari ujung selatan Banyuwangi. Tepatnya di Dusun Pancer, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran. MR, bocah kelas IV SDN 4 Sumberagung, Pesanggaran, ditemukan meninggalkan dunia. Tubuhnya ditemukan menggantung di dapur rumah tinggalnya.

Seperti dikabarkan media, korban nekat gantung diri akibat sering mengalami perundungan (bullying) oleh teman-teman sekolahnya. Bukan hanya sekali. Tapi berkali-kali. Yang memprihatinkan, MR dirundung karena tidak punya bapak alias yatim. Dia pun drop.

Kasek SDN 4 Sumberagung Wawan Sugianto segera mengklarifikasi. Kata dia, MR bukan di-bully. Melainkan terlibat saling ejek dengan siswa lainnya. Itupun kejadiannya sudah lama. Tiga bulan sebelumnya. Tepatnya, pada semester ganjil lalu. ”Kalau saling ejek memang pernah. MR sering olok-olokan dengan teman sebangkunya,” kata Wawan, seperti dilansir koran ini (2/3/23).

Saat saling olok itu, lanjutnya, teman sebangkunya kerap menyebut MR tidak punya bapak atau anak yatim. Saya mencoba memahami kalimat itu. Dengan saksama. Kesimpulan saya: di antara sekian olok-olok itu terdapat kalimat perundungan. Bagi anak sekecil MR, kalimat ”tidak punya bapak” yang diucapkan berkali-kali, serasa berondongan peluru bagi tentara di medan pertempuran. Atau, rasanya sama dengan teror bertubi-tubi. Anak seusia MR (11 tahun?), tentu, sangat merindukan sosok bapak. Menyebut bapaknya yang sudah tiada (dengan olok-olok), bagaikan hinaan.

Sepekan sudah berlalu. Tapi, perundungan berujung maut siswa SD kelas IV di Banyuwangi masih terus diperbincangkan. Masih menghiasi halaman media. Bukan hanya media arus utama. Melainkan semua lini masa. Mulai cetak, digital, medsos, dan TV. Banyak tokoh dan pengamat angkat bicara. Dan, semua sangat menyayangkan. Ikut prihatin. Salah satunya, Guru Besar Sains Informasi FISIP Universitas Airlangga Prof DR Sugihartati Dra MSi. Peneliti kasus perundungan siswa di Jatim itu menulis artikel Bersama Mencegah Perundungan di Sekolah. Dia membuka tulisan yang dimuat di halaman Opini Jawa Pos (3/3/23), dengan angle kasus perundungan terhadap MR yang berakhir gantung diri. Tidak tanggung-tanggung. Sampai tiga paragraf.

Baca Juga :  Merawat Optimisme

Bagaimana bisa kejadian seperti itu terjadi di Banyuwangi. Kota yang sudah menyandang sebutan Kota Welas Asih (Compassionate City). Itu bukan sebutan kaleng-kaleng. Saat ditetapkan sebagai Compassionate City pada Agustus 2014, Kota Gandrung tercatat sebagai yang pertama di Indonesia. Ketika itu, Banyuwangi sejajar dengan Seattle di Amerika Serikat dan Leiden di Belanda.

Wajar jika Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani meradang. Dia langsung mengumpulkan para kasek di Kecamatan Pesanggaran. ”Ini harus menjadi perhatian. Perundungan menjadi masalah berat yang mengganggu psikologi anak. Bisa berbekas trauma. Bisa memengaruhi masa depannya,” tegasnya (JP-RaBa, 5/3/23), seraya berjanji akan segera keliling ke kecamatan-kemacatan lain di Banyuwangi.

Wa bakdu. Perundungan di sekolah (dan lingkungannya) tidak boleh terjadi lagi di Banyuwangi. Harus dihindari sebisa mungkin. Dibutuhkan strategi jitu untuk mencegahnya. Dilakukan secara sistemik dan masif. Para pihak terkait harus dilibatkan. Bergandeng tangan erat. Menyelamatkan generasi muda. Dari gangguan psikologi akibat perundungan.

Peranan tiga pilar sangat menentukan sukses-tidaknya gerakan antiperundungan. Mereka adalah insan pendidikan, orang tua siswa, dan lingkungan. Insan pendidikan itu guru dan warga sekolah. Mereka memegang peran paling besar. Sebab, interaksi teraktif siswa terjadi ketika berada di lingkungan sekolah. Lewat pergaulan. Baik dengan teman sekelas, maupun teman satu sekolah. Yang jumlahnya bisa sampai ratusan. Makin banyak siswa, semakin memungkinkan terjadi gesekan sosial. Bermula dari olok-olok biasa sampai merundung dengan kata atau kalimat menusuk perasaan.

Baca Juga :  Kita Semua Pahlawan

Yang paling tahu kualitas interaksi siswa di sekolah ya kasek dan guru. Sebab, sehari-hari mereka berada dalam satu lingkungan dengan siswa. Kecuali kalau kasek dan gurunya lebih sering menghabiskan waktu di luar sekolah. Kecuali kalau kasek dan gurunya cuek. Tak peduli terhadap siswanya. Mereka datang hanya menunaikan tugas. Mengajar. Titik. Tak mau tahu seperti apa pergaulan siswanya. Terutama saat di luar jam pelajaran di kelas.

Andai saja sekolah punya satgas antiperundungan. Yang benar-benar satgas. Bukan satgas di atas kertas. Ketahanan sekolah terhadap aksi perundungan sesama siswa bisa dicegah sejak awal. Caranya, satgas merekam catatan karakter para siswanya. Juga status sosial. Terutama tentang kondisi keluargnya. Misal, kalau statusnya yatim, ia tinggal sama siapa. Yang statusnya yatim-piatu hidup diasuh oleh siapa. Harus lengkap dan detail. Termasuk mencatat murid-murid yang nakal dan nuaaakal. Mereka harus diawasi secara khusus—selain terus dididik, agar jangan nakal kepada teman-temannya.

Siapa pun yang masuk dalam catatan kasek-guru, terus mendapat perhatian khusus. Bila perlu dibuatkan laporan berkala. Laporan itu diberikan kepada orang tuanya. Wali murid diajak berembuk. Untuk mencari solusi bersama-sama. Kira-kira seperti apa dan bagaimana mengarahkan anaknya menjadi lebih baik. Sebab orang tualah, sebenarnya, yang paling tahu tentang karakter seorang anak. Sehari-hari mereka hidup bersama. Sejak lahir hingga anak-anak.

Selain insan pendidikan dan orang tua, lingkungan sekitar rumah tinggal anak juga punya sumbangsih terhadap perkembangan kejiwaaan seorang anak. Bila sehari-hari bergaul dengan teman-temannya yang gemar mengumpat, maka dengan cepat anak yang baik akan terbiasa misuh. Nama-nama hewan sekebun binatang meluncur dari mulutnya.

Orang tua harus rajin memantau. Bersama siapa buah cintanya bergaul. Di mana mereka bermain. Bila diyakini lingkungan sepermainannya kurang ”sehat”, penuh limbah sosial, sebaiknya si anak diberi tahu dengan baik-baik. Agar ia tidak bermain dengan mereka. Sebab, bila dalam satu keranjang ada satu saja apel busuk, maka apel lainnya ketularan busuknya. Pelan tapi pasti. (Pekolom Banyuwangi)

 

AKHIRNYA terjadi juga. Sesuatu yang ditakutkan selama ini. Di tengah prestasi glamor di hampir segala bidang, tiba-tiba menyeruak kejadian memilukan. Memprihatinkan. Menodai kegemilangan yang terus diukir oleh Banyuwangi.

Kota the Sunrise of Java mengawali 2023 dengan prestasi di bidang lingkungan hidup. Bumi Blambangan memperoleh sertifikat Adipura 2023. Dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI. Atas peningkatan kinerjanya dalam pengelolaan sampah. Sertifikat diserahkan oleh Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar kepada Asisten Perekonomian dan Pembangunan Pemkab Banyuwangi Dwi Yanto (mewakili Bupati Ipuk Fiestiandani), di Jakarta, 28 Februari 2023 lalu.

Sayang seribu kali sayang, sehari sebelum mendapat penghargaan itu, tersiar kabar menggemparkan dari ujung selatan Banyuwangi. Tepatnya di Dusun Pancer, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran. MR, bocah kelas IV SDN 4 Sumberagung, Pesanggaran, ditemukan meninggalkan dunia. Tubuhnya ditemukan menggantung di dapur rumah tinggalnya.

Seperti dikabarkan media, korban nekat gantung diri akibat sering mengalami perundungan (bullying) oleh teman-teman sekolahnya. Bukan hanya sekali. Tapi berkali-kali. Yang memprihatinkan, MR dirundung karena tidak punya bapak alias yatim. Dia pun drop.

Kasek SDN 4 Sumberagung Wawan Sugianto segera mengklarifikasi. Kata dia, MR bukan di-bully. Melainkan terlibat saling ejek dengan siswa lainnya. Itupun kejadiannya sudah lama. Tiga bulan sebelumnya. Tepatnya, pada semester ganjil lalu. ”Kalau saling ejek memang pernah. MR sering olok-olokan dengan teman sebangkunya,” kata Wawan, seperti dilansir koran ini (2/3/23).

Saat saling olok itu, lanjutnya, teman sebangkunya kerap menyebut MR tidak punya bapak atau anak yatim. Saya mencoba memahami kalimat itu. Dengan saksama. Kesimpulan saya: di antara sekian olok-olok itu terdapat kalimat perundungan. Bagi anak sekecil MR, kalimat ”tidak punya bapak” yang diucapkan berkali-kali, serasa berondongan peluru bagi tentara di medan pertempuran. Atau, rasanya sama dengan teror bertubi-tubi. Anak seusia MR (11 tahun?), tentu, sangat merindukan sosok bapak. Menyebut bapaknya yang sudah tiada (dengan olok-olok), bagaikan hinaan.

Sepekan sudah berlalu. Tapi, perundungan berujung maut siswa SD kelas IV di Banyuwangi masih terus diperbincangkan. Masih menghiasi halaman media. Bukan hanya media arus utama. Melainkan semua lini masa. Mulai cetak, digital, medsos, dan TV. Banyak tokoh dan pengamat angkat bicara. Dan, semua sangat menyayangkan. Ikut prihatin. Salah satunya, Guru Besar Sains Informasi FISIP Universitas Airlangga Prof DR Sugihartati Dra MSi. Peneliti kasus perundungan siswa di Jatim itu menulis artikel Bersama Mencegah Perundungan di Sekolah. Dia membuka tulisan yang dimuat di halaman Opini Jawa Pos (3/3/23), dengan angle kasus perundungan terhadap MR yang berakhir gantung diri. Tidak tanggung-tanggung. Sampai tiga paragraf.

Baca Juga :  Seperti Apa Dua Tahun Lagi

Bagaimana bisa kejadian seperti itu terjadi di Banyuwangi. Kota yang sudah menyandang sebutan Kota Welas Asih (Compassionate City). Itu bukan sebutan kaleng-kaleng. Saat ditetapkan sebagai Compassionate City pada Agustus 2014, Kota Gandrung tercatat sebagai yang pertama di Indonesia. Ketika itu, Banyuwangi sejajar dengan Seattle di Amerika Serikat dan Leiden di Belanda.

Wajar jika Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani meradang. Dia langsung mengumpulkan para kasek di Kecamatan Pesanggaran. ”Ini harus menjadi perhatian. Perundungan menjadi masalah berat yang mengganggu psikologi anak. Bisa berbekas trauma. Bisa memengaruhi masa depannya,” tegasnya (JP-RaBa, 5/3/23), seraya berjanji akan segera keliling ke kecamatan-kemacatan lain di Banyuwangi.

Wa bakdu. Perundungan di sekolah (dan lingkungannya) tidak boleh terjadi lagi di Banyuwangi. Harus dihindari sebisa mungkin. Dibutuhkan strategi jitu untuk mencegahnya. Dilakukan secara sistemik dan masif. Para pihak terkait harus dilibatkan. Bergandeng tangan erat. Menyelamatkan generasi muda. Dari gangguan psikologi akibat perundungan.

Peranan tiga pilar sangat menentukan sukses-tidaknya gerakan antiperundungan. Mereka adalah insan pendidikan, orang tua siswa, dan lingkungan. Insan pendidikan itu guru dan warga sekolah. Mereka memegang peran paling besar. Sebab, interaksi teraktif siswa terjadi ketika berada di lingkungan sekolah. Lewat pergaulan. Baik dengan teman sekelas, maupun teman satu sekolah. Yang jumlahnya bisa sampai ratusan. Makin banyak siswa, semakin memungkinkan terjadi gesekan sosial. Bermula dari olok-olok biasa sampai merundung dengan kata atau kalimat menusuk perasaan.

Baca Juga :  Panggung Besar

Yang paling tahu kualitas interaksi siswa di sekolah ya kasek dan guru. Sebab, sehari-hari mereka berada dalam satu lingkungan dengan siswa. Kecuali kalau kasek dan gurunya lebih sering menghabiskan waktu di luar sekolah. Kecuali kalau kasek dan gurunya cuek. Tak peduli terhadap siswanya. Mereka datang hanya menunaikan tugas. Mengajar. Titik. Tak mau tahu seperti apa pergaulan siswanya. Terutama saat di luar jam pelajaran di kelas.

Andai saja sekolah punya satgas antiperundungan. Yang benar-benar satgas. Bukan satgas di atas kertas. Ketahanan sekolah terhadap aksi perundungan sesama siswa bisa dicegah sejak awal. Caranya, satgas merekam catatan karakter para siswanya. Juga status sosial. Terutama tentang kondisi keluargnya. Misal, kalau statusnya yatim, ia tinggal sama siapa. Yang statusnya yatim-piatu hidup diasuh oleh siapa. Harus lengkap dan detail. Termasuk mencatat murid-murid yang nakal dan nuaaakal. Mereka harus diawasi secara khusus—selain terus dididik, agar jangan nakal kepada teman-temannya.

Siapa pun yang masuk dalam catatan kasek-guru, terus mendapat perhatian khusus. Bila perlu dibuatkan laporan berkala. Laporan itu diberikan kepada orang tuanya. Wali murid diajak berembuk. Untuk mencari solusi bersama-sama. Kira-kira seperti apa dan bagaimana mengarahkan anaknya menjadi lebih baik. Sebab orang tualah, sebenarnya, yang paling tahu tentang karakter seorang anak. Sehari-hari mereka hidup bersama. Sejak lahir hingga anak-anak.

Selain insan pendidikan dan orang tua, lingkungan sekitar rumah tinggal anak juga punya sumbangsih terhadap perkembangan kejiwaaan seorang anak. Bila sehari-hari bergaul dengan teman-temannya yang gemar mengumpat, maka dengan cepat anak yang baik akan terbiasa misuh. Nama-nama hewan sekebun binatang meluncur dari mulutnya.

Orang tua harus rajin memantau. Bersama siapa buah cintanya bergaul. Di mana mereka bermain. Bila diyakini lingkungan sepermainannya kurang ”sehat”, penuh limbah sosial, sebaiknya si anak diberi tahu dengan baik-baik. Agar ia tidak bermain dengan mereka. Sebab, bila dalam satu keranjang ada satu saja apel busuk, maka apel lainnya ketularan busuknya. Pelan tapi pasti. (Pekolom Banyuwangi)

 

Artikel Terkait

City Dressing

Mutiara Terpendam di Kalilo

Sami Mawon atau….

Riuh B-Fest 2023

Dobel-Dobel Syukur

Most Read

Artikel Terbaru

/