TUMBUH 25%. Itulah target kunjungan wisatawan ke Banyuwangi. Pada 2023. Persentase itu tampak tinggi. Begitu optimistis. Bila mengaca pada proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional pada 2023: (yang hanya) sebesar 5,3%. Juga jauh di atas inflasi 3,6%, yang ditarget pemerintah dalam APBN 2023. Atau, bahkan, perkiraan dari Indef (Institute for Development of Economics and Finance) yang di kisaran 6–7%, sekalipun.
Tahun 2022, tercatat 2,9 juta wisatawan berwisata ke Bumi Blambangan. Bila (benar-benar tumbuh) 25%, maka pada 2023 akan ada tambahan 725 ribu wisatawan sehingga totalnya menjadi 3.625.000 wisatawan. Meski lumayan tinggi target itu, tapi belum bisa menyamai angka kunjungan wisatawan di tahun normal. Sebelum pandemi Covid-19, Kota Gandrung dikunjungi 5 juta orang!
Bila ingin dikatakan bisa kembali dahsyat, Banyuwangi, setidaknya, harus bisa mendatangkan 5 juta turis. Bukan 3,6 juta. Bisa saja angka 5 juta itu ditembus. Tapi tidak di 2023. Yang infrastrukturnya masih seperti masa pandemi. Masih serba minimalis.
Soal itu, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi M. Yanuarto Bramuda punya alasan masuk akal. ”Konektivitas ke Banyuwangi saat ini mengalami perubahan,” ucapnya, seperti dilansir koran ini (2/3/22).
Sebelum pandemi Covid-19, lanjutnya, dalam sepekan ada enam kali penerbangan Banyuwangi ke Jakarta dan sebaliknya (PP). Tahun ini, tersisa hanya tiga penerbangan. Yang menyedihkan, pengurangan frekuensi penerbangan itu bukan disebabkan menurunnya calon penumpang. Melainkan karena pesawatnya tidak ada. Pihak maskapai terpaksa mengurangi rute Banyuwangi–Jakarta PP—juga rute-rute lainnya, akibat dampak pandemi Covid-19.
Rute ke beberapa kota, seperti ke Surabaya dan Denpasar, nasibnya lebih parah. Setelah tutup selama masa pandemi, hingga sekarang belum dibuka lagi. Sekali lagi, penyebabnya bukan faktor kekurangan calon penumpang. Tapi lebih ke internal maskapainya. Yang terpukul hebat akibat pandemi. Sementara untuk membuka kembali rute penerbangan, tidak semudah menjalankan kembali trayek bus antarkota dalam provinsi. ”Padahal, akses menuju Banyuwangi itu kunci untuk menargetkan wisatawan datang,” tegas Bramuda.
Persoalan cuaca yang tidak menentu akhir-akhir ini, juga jadi pertimbangan Disbudpar Banyuwangi. Dalam membuat target yang konservatif. Tentu, pengalaman 2022 jadi media pembelajaran paling mujarab. Program wisata long weekend yang diandalkan Disbudpar berantakan. Tidak banyak wisatawan berlibur ke Kota Festival Banyuwangi pada Jumat dan Sabtu. Gara-gara takut terteror cuaca ekstrem. Baik saat dalam perjalanan. Maupun ketika sudah di Banyuwangi. Mana bisa menikmati destinasi bila cuacanya buruk. Terutama saat mengunjungi Kawah Ijen. Wisatawan pun berlibur ke Kota Rujak Soto hanya di hari Ahad. Yakni, angkanya bisa tembus 50 ribu orang.
Saya berbaik sangka saja. Angka 25% itu pasti target minimal dari Pak Bram—sapaan karib Bramuda. Saya yakin, mereka sebenarnya menyiapkan strategi jitu. Untuk mengejar kunjungan wisatawan sebanyak-banyaknya. Setidaknya bisa tembus 5 juta. Sebagaimana yang pernah dicapainya di masa sebelum pandemi Covid-19.
Dari sisi konektivitas udara memang masih payah. Masih sangat berharap pada kebaikan hati para bos maskapai. Tapi, itu bukan kiamat. Bukan pula sebuah kebetulan, ketika ada pengurangan jadwal penerbangan, PT KAI justru membuka rute Banyuwangi–Semarang PP. Menggunakan kereta Blambangan Ekspres. Rangkaian gerbong eksekutif dan ekonomis plus siap melayani rute Stasiun Tawang di Semarang sampai Banyuwangi Baru di Ketapang.
Rute baru itu tidak hanya melengkapi trayek jauh Banyuwangi–Cilacap PP lewat KA Wijayakusuma—melewati kota-kota destinasi top (Solo dan Jogjakarta), tapi membuka peluang membanjirnya wisatawan dari jalur Semarang dan sekitar ke Banyuwangi. Nah, sekarang tergantung tim Disbudpar. Bagaimana mereka tanggap dan sigap membaca peluang promosi baru lewat jalur KA Blambangan Ekspres itu.
Wa ba’du. Perubahan strategi yang dilakukan Disbudpar Banyuwangi cukup menjanjikan. Pada Banyuwangi Festival (B-Fest) 2023, kata Bramuda, pemkab Banyuwangi hanya akan menampilkan 55 event. Syukurlah, panitia besar akhirnya sadar, bahwa kualitas jauh lebih penting dari kuantitas.
Untuk kota yang sudah terlabeli sebagai Kota Festival seperti Banyuwangi, buat apa banyak event jika event-event-nya kurang memenuhi standar. Sebaliknya, sedikit event bermutu jauh lebih bisa menarik orang untuk datang dan menonton. Apalagi, jika event yang sedikit itu diikuti rangkaian kegiatan sebelum dan sesudahnya. Event pra dan pasca itu tidak berdiri sendiri. Tapi melengkapi event utamanya. Orang yang datang pun bukan hanya ingin menonton. Melainkan, bisa jadi, juga ingin terlibat aktif di beberapa kegiatan pendukungnya, baik di pra maupun pasca.
Acara pra dan atau pasca itu, contohnya seminar, workshop, sarasehan, simposium, dll. Acara-acara itu membahas tuntas tema event terkait, Misal, Banyuwangi Ethno Carnival. Sebelum hari H ada seminar tentang karnaval. Format karnaval termutakhir seperti apa. Karnaval yang baik itu gimana sih, apakah jalan talent-nya sambil joget atau cukup jalan cantik laiknya peragawati di atas venue. Lalu, musiknya harus dikemas bagaimana, dll. Atau, bisa juga ada workshop tentang perkarnavalan. Untuk menjelaskan materi terkait, bisa mengundang ahlinya ahli karnaval. Pasti menarik.
Pun event yang lain. Ngopi Sepuluh Ewu Cangkir di Kemiren bisa dimeriahkan dengan seminar dan workshop tentang kopi. Di hari sebelum atau pun sesudah bergadang menikmati 10 ribu cangkir kopi. Bila perlu undang barista seluruh Indonesia untuk demonstrasikan kemahirannya meracik kopi. Pasti akan banyak pengunjung yang datang. Bahkan, berebut. Menikmati kopi gratis racikan tangan-tangan terampil.
Bila dianggap merepotkan panitia, ide-ide spontan itu gak usah dianggap serius. Anggap saja sebagai godaan untuk maju. Dan, sangat cocok untuk merawat optimisme. (*)
*) Pekolom Banyuwangi