KASUS pelecehan seksual kembali menjadi sorotan publik beberapa bulan terakhir ini. Yang paling hangat mungkin kasus yang terjadi di salah satu boarding school yang ada di Kota Bandung. Kasus ini ramai dibicarakan publik karena tindakan pelaku yang melenceng dari norma ”kemanusiaan”. Banyak kontradiksi pendapat di kalangan masyarakat, apakah si pelaku layak mendapat hukuman seberat-beratnya atau tetap dihukum dengan tetap memandang HAM yang dimiliki oleh sang pelaku.
Komnas HAM Perempuan sejak 2015–2020 menerima lebih dari 10.000 kasus laporan tetang pelecehan seksual. Dan pada tahun 2021 mengalami lonjakan yang signifikan dibanding tahun sebelumnya. Menjadi sebuah PR besar bagi pemerintah dan juga masyarakat Indonesia untuk bagaimana bisa menanggulangi masalah tentang pelecehan seksual tersebut. Karena dalam pelecehan seksual, ada pihak yang dirugikan, yaitu tentunya sang korban. Berbeda dengan seks bebas yang menjadi suatu kebiasan buruk di lingkungan masyarakat masa kini. Yang mana seks bebas dilandasi atas suka dengan suka. Meskipun tetap saja seks bebas adalah suatu perilaku yang ditentang keras dalam norma-norma agama.
Dalam pelecehan seksual, bisa kita kelompokan beberapa faktor kemungkinan terjadinya pelecehan seksual. Pertama dari kaum laki-laki yang menjadi pelaku, hampir sebagian besar kasus pelecehan seksual itu dilakukan oleh laki-laki. Entah karena hormon seksualnya terlalu tinggi atau mungkin pendidikan mengenai seks yang kurang.
Tapi menurut penulis, rata-rata kasus pelecehan seksual yang dilakukan karena sang pelaku kurang mendapat edukasi seks yang cukup sedari kecil. Biasanya saat kita masih dalam usia-usia berkembang, kita sering kali dihindarkan dari hal-hal yang berbau seksual atau pornografi. Padahal menurut hemat penulis, pada usia yang dimaksud sangat baik untuk menanamkan edukasi seks pada anak. Bahwa ada seks yang diperbolehkan seperti saat sudah bersuami-istri yang terikat sebuah pernikahan, bukan sebaliknya. Edukasi seperti ini bisa dilakukan pada anak laki-laki maupun perempuan.
Faktor tindakan pelaku pelecehan seksual ini bisa juga didasari kurangnya pemberian ruang untuk berekspresi saat masa-masa perkembangan. Seperti halnya sistem edukasi yang diterapkan ialah hanya dalam jangkauan orang tua atau pendamping yang mengakibatkan kurangnya interaksi terhadap lingkungan sekitarnya, kurang menganal dunia asli disekitarnya. Walaupun sistem edukasi yang biasanya dipakai oleh para orang tua yang overprotective bisa melindungi anak dari pengaruh buruk pergaulan di masyarakat. Tapi tetap saja, yang menjadi garis bawah di sini ialah kurangnya memberikan ekspresi.
Jadi, ketika sudah dihadapkan dengan dunia yang sesungguhnya, dia akan mudah terpengaruh dengan dunia luar. Beruntung jika dunia yang ia temui adalah dunia yang memiliki nilai-nilai positif. Lantas bagaimana jika sebaliknya? Karena faktor berikutnya yang memungkinkan seseorang menjadi pelaku pelecehan seksual ialah lingkungan itu sendiri.
”Seseorang yang berteman dengan pandai besi, maka dia akan tercium seperti bau besi. Jika seseorang berteman dengan penjual parfum maka dia akan tercium harum seperti bau parfum”. Dari pepatah tersebut, bisa kita ambil hikmah bahwa lingkungan berpengaruh pada kepribadian seseorang. Jadi, jikalau lingkungan sang pelaku ialah lingkungan bebas dalam artian lingkungan yang tidak memperhatikan norma-norma yang berlaku di masyarakat pada umumnya, sang pelaku akan terbentuk menjadi seseorang yang berperilaku seperti lingkungannya.
Kedua, dari kaum perempuan yang menjadi pelaku. Dalam hal ini yang akan dibahas bukan mengenai perempuan yang memaksa laki-laki untuk memenuhi hasrat birahinya –meskipun tidak bisa dimungkiri, ada beberapa kasus laki-laki menjadi korban seperti yang tadi dimaksud karena ada sebuah perkataan ”laki-laki itu memiliki sembilan nafsu dan satu akal sedangkan perempuan memiliki satu akal dan sembilan nafsu”.
Tapi bukan itu yang akan penulis bahas. Melainkan tentang perempuan yang menjadi pelaku pelecehan seksual ialah dengan bagaimana ia berpakaian. Kita analogikan seperti dua buah daging ayam segar. Satu daging kita biarkan terbuka dan satunya lagi kita tutup dengan suatu pembungkus yang bisa menutupi daging itu. Kemudian kita lihat daging mana yang akan banyak dihinggapi lalat, seperti itulah analoginya.
Jika para perempuan memang sengaja berpenampilan terbuka yang menjadikan lekuk tubuhnya terlihat oleh orang lain, maka dalam konteks ini jangan salahkan laki-laki yang tergoda ketika melihat tubuh perempuan seperti yang dimaksud di atas. Dalam konteks ini seakan-akan perempuan menjadi faktor utama terjadinya pelecehan seksual.
Maka dari itu, edukasi seks sangat penting ditanamkan. Karena edukasi seks juga bisa membentuk kepribadian seseorang menjadi seorang manusia yang sesuai dengan norma kemanusiaan. Bagaimana dengan korban? Dalam hal ini, pendekatan sangat penting kita lakukan. Karena meskipun angka laporan yang masuk ke Komnas HAM Perempuan begitu banyak, penulis yakin tidak sedikit angka yang tidak dilaporkan korban karena efek dari trauma yang diderita korban. Seperti kasus yang penulis singgung di awal, setelah ditelusuri kasus tersebut terjadi sejak 2013.
Pendekatan menjadi salah satu solusi yang dapat diberikan, karena biasanya korban pelecehan seksual yang trauma akan menjadi seorang yang pendiam, hanya bicara kepada orang tertentu, dan tidak akan mudah mempercayai orang lain lagi.
Solusi lainnya ialah memanfaatkan media sosial. Media sosial dapat kita jadikan wadah atau sarana korban atau keluarganya untuk mengutarakan perasaannya. Seperti kasus anak yang diperkosa ayah tirinya. Ketika ia takut untuk mengungkapkan kepada ibunya, maka media sosial-lah tempat ia menyalurkan perasaan. Kita sebagai pengguna sosial media harus bijak dalam menggunakannya. Jika kita menemukan hal-hal seperti ini, jadilah seorang yang peduli sosial, nyalakan kepekaan sosial yang ada dalam diri kita. Bukan malah mengirim stigma-stigma negatif yang hanya akan memperburuk keadaan korban. (*)
*) Santri Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo