24.3 C
Banyuwangi
Friday, June 2, 2023

Inovasi Artificial Incubation, Alternatif Penetasan Telur Penyu

PENYU merupakan satwa akuatik yang dilindungi berdasarkan regulasi International Union for the Conservation Nature (IUCN). Ternyata, ancaman kepunahan penyu ini tidak terbatas pada eksploitasi oleh manusia. Tetapi juga bisa terjadi akibat pengaruh faktor alam, seperti peningkatan suhu dan kelembapan pasir sarang. Perubahan iklim yang ekstrem tersebut terjadi akibat dampak pemanasan global. Ini berdampak langsung terhadap keberhasilan penetasan telur penyu dalam pasir. Karena ketidakstabilan suhu dan kelembapan dapat menyebabkan kematian embrio penyu dalam telur.

Apabila ada telur yang berhasil menetas, itu pun akan memunculkan jenis kelamin tukik (anak penyu) dominan betina karena suhu lingkungan yang cenderung panas. Pembentukan jenis kelamin penyu bergantung pada suhu pada saat inkubasi telur. Apabila suhu relatif dingin, tukik akan menetas dengan jenis kelamin jantan. Sebaliknya, jika suhu relatif hangat, tukik akan menetas dengan jenis kelamin betina. 

Patricio et al (2017) menyatakan bahwa populasi penyu hijau (Chelonia mydas) yang di wilayah Australia utara, 99% adalah betina dan tidak ditemukan yang jantan. Hal tersebut sangat berbahaya terhadap kelangsungan siklus hidup penyu. Mengingat satu indukan penyu betina membutuhkan lima sampai enam ekor penyu jantan untuk melakukan fertilisasi dan menghasilkan telur. Apabila jumlah penyu jantan semakin turun, kemungkinan terburuk adalah terputusnya siklus hidup penyu yang berujung kepunahan.

Haruskah kita membiarkan telur-telur penyu mengalami kegagalan menetas akibat faktor alam? Jika ada sesuatu yang bisa kita lakukan untuk menghindari kegagalan tersebut, apakah kita akan diam saja?

Ada satu hal yang sangat menjanjikan sebagai solusi permasalahan inkubasi alami, yaitu dengan melakukan metode inkubasi buatan (artificial incubation). Konsep inkubasi buatan ini dengan memindahkan telur-telur penyu pada sarang alami ke sebuah media/wadah yang didesain khusus, sehingga mampu mempertahankan perkembangan embrio dalam telur.

Secara umum, alat buatan yang digunakan untuk proses inkubasi telur disebut juga sebagai inkubator. Bisa dibilang inkubator khusus untuk penyu!

Sukandar dkk (2020) pernah memublikasikan hasil penelitian inkubasi telur penyu menggunakan ”maticgator”, sebuah inkubator telur penyu yang dirancang oleh tim penelitinya, dengan hasil sejumlah 27 dari 30 sampel telur penyu berhasil menetas dengan tingkat keberhasilan mencapai 90%.

Maticgator merupakan produk inovasi yang bisa menetaskan telur penyu sesuai dengan jenis kelamin yang diinginkan, dengan cara mengatur suhu dan kelembapan di dalam alat tersebut. Alat ini menyerupai lemari kayu berbobot 7 kg dan volume bangun 120 cm  x 80 cm x 60 cm yang di dalamnya terdapat wadah menetaskan telur, berupa kotak-kotak pembatas dan bisa menampung 50–100 telur.

Alat inkubator tersebut membutuhkan pasir sarang untuk menjaga kestabilan suhu dan kelembapan pada saat proses inkubasi. Penggunaan pasir bisa menurunkan nilai efektivitas sebuah inkubator. Alasannya adalah meskipun suhu dan kelembapan bisa terjaga, namun pasir itu sendiri merupakan media yang berisiko terkontaminasi oleh mikroorganisme. Terutama jika sumber pasir tersebut dari alam dan tidak mengalami proses sterilisasi.

Baca Juga :  Salah Satu Hakikat Tujuh Langit

Haprabu dkk (2018) menyimpulkan, bakteri Escherichia coli dalam pasir berpengaruh terhadap kegagalan penetasan telur penyu lekang (Lepidochelys olivacea) di sarang semi alami. Sejalan dengan hasil penelitian Muhammad dkk (2020) yang menyimpulkan, jenis jamur patogen seperti Aspergillus dan Fusarium dalam pasir berpengaruh terhadap kegagalan penetasan telur penyu hijau di sarang semi alami.

Intinya, efektivitas sebuah alat penetasan buatan untuk telur penyu harus benar-benar bebas dari risiko yang menyebabkan kematian terhadap embrio maupun tukik.

Di Banyuwangi, ada sebuah hasil penelitian terkait artificial incubation pada telur penyu yang menarik dan menjanjikan. Penelitian yang diinisiasi oleh Banyuwangi Sea Turtle Foundation (BSTF) ini berhasil menetaskan telur penyu tanpa media pasir. Konsep penelitian yang dilakukan oleh BSTF bekerja sama dengan Prodi Kedokteran Hewan Universitas Airlangga PSDKU Banyuwangi di Pantai Boom adalah dengan melakukan perbandingan antara tiga metode, yaitu inkubasi telur pada sarang alami di pantai, sarang semi alami, dan inkubator buatan dengan sampel 122 butir telur penyu dari satu sarang yang sama.

Pada sarang alami di pantai dilakukan inkubasi sejumlah 60 butir telur dalam kondisi suhu 31–32º C dan setelah 45 hari menetas 92 persen. Di sarang semi alami,dilakukan inkubasi sejumlah 52 butir telurdalam kondisi suhu 30–31º Cdan setelah 45 hari menetas87 persen. Sedangkan inkubator buatan tanpa pasir, sejumlah 10 butir telur yang diinkubasi dalam suhu 28–29º C ternyatasetelah 57 hari menetas100 persen.

Seluruh parameter utama pada sarang dipantau detail dengan menggunakan alat automatic data logger untuk mengukur suhu, kelembapan dan pH. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penetasan dengan menggunakan inkubator buatan tanpa pasir, memiliki hasil terbaik yaitu 100%. Dibanding dengan sarang alami 92%. Dan sarang semi alami 87%.

Penetasan dengan menggunakan inkubator buatan tanpa pasir ini merupakan peluang untuk meningkatkan populasi penyu dengan kondisi stabil. Karena memiliki beberapa kelebihan seperti lebih efisien ruangan. Minim dari cemaran mikroorganisme, dan tentunya bisa mengatur jenis kelamin tukik yang akan dihasilkan.

Pendiri BSTF Wiyanto Haditanojo mengakui, selama ini kegiatan penyelamatan telur di pesisir pantai Banyuwangi dengan metode relokasi ke sarang semi alami. Karena sarang alami rentan tergerus pasang air laut, mengingat kondisi pantai saat ini semakin berkurang akibat pembangunan infrastruktur.

Bisa dibayangkan, apabila bisa dibuat ruangan khusus yang berisi alat inkubator tersebut, tentunya akan lebih besar kemungkinan telur penyu menetas secara optimal dan terpantau dengan detail. Keberhasilan menetas yang maksimal tersebut karena suhu dan kelembapan yang relatif stabil. Serta didukung kondisi bebas paparan bakteri maupun jamur dalam pasir. Karena konsep inkubator tersebut adalah tanpa pasir.

Selain itu, tukik yang ditetaskan dalam inkubator seluruhnya dalam kondisi sehat. Tidak ada bagian tubuh yang cacat dan seluruhnya bergerak aktif. Pemanfaatan tabung inkubator tanpa pasir ini, juga memungkinkan untuk melihat secara kasat mata, kondisi telur yang ada di dalamnya. Apabila terpantau ada telur yang tidak berkembang dan terjadi pembusukan di dalam tabung inkubator, maka personel yang mengamati bisa langsung memindahkan telur dengan kondisi buruk tersebut. Agar tidak mencemari telur-telur lainnya.

Baca Juga :  Memboosting Banyuwangi saat Pandemi

Karena penetasan tanpa pasir tersebut masih dalam tahap penelitian pendahuluan, tentu masih banyak parameter yang harus dikembangkan. Salah satunya adalah penambahan sensor alat yang bisa mengatur suhu dan kelembapan dalam inkubator, maupun ruangan. Automatic data logger yang sebelumnya digunakan hanya untuk membaca dan koleksi data suhu maupun kelembapan secara real time, namun alat untuk mengatur suhu dan kelembapannya sendiri harus ditambahkan. Karena ini sangat penting jika kita ingin menetaskan tukik dengan jenis kelamin yang diarahkan ke jantan atau betina.

Booth (2017) menyatakan kesimpulan berdasarkan hasil penelitian bahwa telur yang ditetaskan pada suhu dominan rendah (26–28ºC), akan menghasilkan tukik jantan. Sejalan dengan teori tersebut, hasil penetasan dengan tabung inkubator tanpa pasir terpantau dalam kondisi suhu fluktuatif antara 28–29º C. Sehingga tukik-tukik yang dihasilkan akan didominasi oleh jenis kelamin jantan. Ini juga merupakan sebuah alternatif untuk menjawab permasalahan dampak pemanasan global yang menyebabkan tukik jantan semakin sedikit.

Saya melihat, hasil penelitian tersebut mempunyai prospek bagus. Karena jika dikembangkan ide artificial incubation, akan berdampak signifikan terhadap angka keberhasilan penetasan. Selain itu, telur yang bisa diselamatkan tidak terbatas pada sarang alami yang terpengaruh perubahan cuaca. Tetapi juga bisa digunakan sebagai media penetasan, apabila ditemukan kondisi pasir sarang yang terkontaminasi mikroorganisme.

Tidak bisa dimungkiri, ancaman mikroorganisme ini sangat jarang terdeteksi. Karena cemarannya tak kasat mata, namun dampaknya sangat berbahaya terhadap proses inkubasi telur penyu. Sejauh ini, ada teori yang mengatakan bahwa tindakan ”headstarting” atau pembesaran tukik di kolam buatan hingga ukuran tertentu, berdampak pada insting alami tukik. Hal tersebut karena selama proses pemeliharaan, seluruh pakan untuk tukik diberikan oleh manusia. Sehingga ketika dikembalikan ke laut, mereka kesulitan mencari pakan alami. Namun itu hanya sebatas teori, terkait headstarting, dan tidak ada teori ilmiah yang membuktikan, apakah tukik hasil penetasan secara alamiah kondisi dan instingnya lebih baik dibanding dengan tukik hasil penetasan inkubator.

Meskipun penetasan dengan konsep inkubator buatan tanpa pasir, begitu menetas tukik-tukiknya akan langsung dilepasliarkan ke laut di hari yang sama. Justru jumlah tukik yang kembali ke habitat alaminya akan jauh meningkat, karena melalui penetasan tanpa pasir keberhasilannya mencapai 100%.

Prinsipnya, kita memanfaatkan teknologi yang dihasilkan manusia untuk membantu penyelamatan satwa terancam punah. Supaya populasinya bertambah dan terjaga kelestariannya. Jadi siapa pun yang peduli terhadap penyu, bisa saling berkolaborasi dan mewujudkan program konservasi.

Sudah menjadi kewajiban manusia untuk mendedikasikan pengetahuan dan apa yang dimilikinya untuk kelestarian alam dan kesejahteraan makhluk hidup lainnya. (*)

 

*) Akademisi & Peneliti Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga.

PENYU merupakan satwa akuatik yang dilindungi berdasarkan regulasi International Union for the Conservation Nature (IUCN). Ternyata, ancaman kepunahan penyu ini tidak terbatas pada eksploitasi oleh manusia. Tetapi juga bisa terjadi akibat pengaruh faktor alam, seperti peningkatan suhu dan kelembapan pasir sarang. Perubahan iklim yang ekstrem tersebut terjadi akibat dampak pemanasan global. Ini berdampak langsung terhadap keberhasilan penetasan telur penyu dalam pasir. Karena ketidakstabilan suhu dan kelembapan dapat menyebabkan kematian embrio penyu dalam telur.

Apabila ada telur yang berhasil menetas, itu pun akan memunculkan jenis kelamin tukik (anak penyu) dominan betina karena suhu lingkungan yang cenderung panas. Pembentukan jenis kelamin penyu bergantung pada suhu pada saat inkubasi telur. Apabila suhu relatif dingin, tukik akan menetas dengan jenis kelamin jantan. Sebaliknya, jika suhu relatif hangat, tukik akan menetas dengan jenis kelamin betina. 

Patricio et al (2017) menyatakan bahwa populasi penyu hijau (Chelonia mydas) yang di wilayah Australia utara, 99% adalah betina dan tidak ditemukan yang jantan. Hal tersebut sangat berbahaya terhadap kelangsungan siklus hidup penyu. Mengingat satu indukan penyu betina membutuhkan lima sampai enam ekor penyu jantan untuk melakukan fertilisasi dan menghasilkan telur. Apabila jumlah penyu jantan semakin turun, kemungkinan terburuk adalah terputusnya siklus hidup penyu yang berujung kepunahan.

Haruskah kita membiarkan telur-telur penyu mengalami kegagalan menetas akibat faktor alam? Jika ada sesuatu yang bisa kita lakukan untuk menghindari kegagalan tersebut, apakah kita akan diam saja?

Ada satu hal yang sangat menjanjikan sebagai solusi permasalahan inkubasi alami, yaitu dengan melakukan metode inkubasi buatan (artificial incubation). Konsep inkubasi buatan ini dengan memindahkan telur-telur penyu pada sarang alami ke sebuah media/wadah yang didesain khusus, sehingga mampu mempertahankan perkembangan embrio dalam telur.

Secara umum, alat buatan yang digunakan untuk proses inkubasi telur disebut juga sebagai inkubator. Bisa dibilang inkubator khusus untuk penyu!

Sukandar dkk (2020) pernah memublikasikan hasil penelitian inkubasi telur penyu menggunakan ”maticgator”, sebuah inkubator telur penyu yang dirancang oleh tim penelitinya, dengan hasil sejumlah 27 dari 30 sampel telur penyu berhasil menetas dengan tingkat keberhasilan mencapai 90%.

Maticgator merupakan produk inovasi yang bisa menetaskan telur penyu sesuai dengan jenis kelamin yang diinginkan, dengan cara mengatur suhu dan kelembapan di dalam alat tersebut. Alat ini menyerupai lemari kayu berbobot 7 kg dan volume bangun 120 cm  x 80 cm x 60 cm yang di dalamnya terdapat wadah menetaskan telur, berupa kotak-kotak pembatas dan bisa menampung 50–100 telur.

Alat inkubator tersebut membutuhkan pasir sarang untuk menjaga kestabilan suhu dan kelembapan pada saat proses inkubasi. Penggunaan pasir bisa menurunkan nilai efektivitas sebuah inkubator. Alasannya adalah meskipun suhu dan kelembapan bisa terjaga, namun pasir itu sendiri merupakan media yang berisiko terkontaminasi oleh mikroorganisme. Terutama jika sumber pasir tersebut dari alam dan tidak mengalami proses sterilisasi.

Baca Juga :  Mengurangi Perilaku Membuang Sampah di Sungai

Haprabu dkk (2018) menyimpulkan, bakteri Escherichia coli dalam pasir berpengaruh terhadap kegagalan penetasan telur penyu lekang (Lepidochelys olivacea) di sarang semi alami. Sejalan dengan hasil penelitian Muhammad dkk (2020) yang menyimpulkan, jenis jamur patogen seperti Aspergillus dan Fusarium dalam pasir berpengaruh terhadap kegagalan penetasan telur penyu hijau di sarang semi alami.

Intinya, efektivitas sebuah alat penetasan buatan untuk telur penyu harus benar-benar bebas dari risiko yang menyebabkan kematian terhadap embrio maupun tukik.

Di Banyuwangi, ada sebuah hasil penelitian terkait artificial incubation pada telur penyu yang menarik dan menjanjikan. Penelitian yang diinisiasi oleh Banyuwangi Sea Turtle Foundation (BSTF) ini berhasil menetaskan telur penyu tanpa media pasir. Konsep penelitian yang dilakukan oleh BSTF bekerja sama dengan Prodi Kedokteran Hewan Universitas Airlangga PSDKU Banyuwangi di Pantai Boom adalah dengan melakukan perbandingan antara tiga metode, yaitu inkubasi telur pada sarang alami di pantai, sarang semi alami, dan inkubator buatan dengan sampel 122 butir telur penyu dari satu sarang yang sama.

Pada sarang alami di pantai dilakukan inkubasi sejumlah 60 butir telur dalam kondisi suhu 31–32º C dan setelah 45 hari menetas 92 persen. Di sarang semi alami,dilakukan inkubasi sejumlah 52 butir telurdalam kondisi suhu 30–31º Cdan setelah 45 hari menetas87 persen. Sedangkan inkubator buatan tanpa pasir, sejumlah 10 butir telur yang diinkubasi dalam suhu 28–29º C ternyatasetelah 57 hari menetas100 persen.

Seluruh parameter utama pada sarang dipantau detail dengan menggunakan alat automatic data logger untuk mengukur suhu, kelembapan dan pH. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penetasan dengan menggunakan inkubator buatan tanpa pasir, memiliki hasil terbaik yaitu 100%. Dibanding dengan sarang alami 92%. Dan sarang semi alami 87%.

Penetasan dengan menggunakan inkubator buatan tanpa pasir ini merupakan peluang untuk meningkatkan populasi penyu dengan kondisi stabil. Karena memiliki beberapa kelebihan seperti lebih efisien ruangan. Minim dari cemaran mikroorganisme, dan tentunya bisa mengatur jenis kelamin tukik yang akan dihasilkan.

Pendiri BSTF Wiyanto Haditanojo mengakui, selama ini kegiatan penyelamatan telur di pesisir pantai Banyuwangi dengan metode relokasi ke sarang semi alami. Karena sarang alami rentan tergerus pasang air laut, mengingat kondisi pantai saat ini semakin berkurang akibat pembangunan infrastruktur.

Bisa dibayangkan, apabila bisa dibuat ruangan khusus yang berisi alat inkubator tersebut, tentunya akan lebih besar kemungkinan telur penyu menetas secara optimal dan terpantau dengan detail. Keberhasilan menetas yang maksimal tersebut karena suhu dan kelembapan yang relatif stabil. Serta didukung kondisi bebas paparan bakteri maupun jamur dalam pasir. Karena konsep inkubator tersebut adalah tanpa pasir.

Selain itu, tukik yang ditetaskan dalam inkubator seluruhnya dalam kondisi sehat. Tidak ada bagian tubuh yang cacat dan seluruhnya bergerak aktif. Pemanfaatan tabung inkubator tanpa pasir ini, juga memungkinkan untuk melihat secara kasat mata, kondisi telur yang ada di dalamnya. Apabila terpantau ada telur yang tidak berkembang dan terjadi pembusukan di dalam tabung inkubator, maka personel yang mengamati bisa langsung memindahkan telur dengan kondisi buruk tersebut. Agar tidak mencemari telur-telur lainnya.

Baca Juga :  Musim Hujan Waspada Banjir

Karena penetasan tanpa pasir tersebut masih dalam tahap penelitian pendahuluan, tentu masih banyak parameter yang harus dikembangkan. Salah satunya adalah penambahan sensor alat yang bisa mengatur suhu dan kelembapan dalam inkubator, maupun ruangan. Automatic data logger yang sebelumnya digunakan hanya untuk membaca dan koleksi data suhu maupun kelembapan secara real time, namun alat untuk mengatur suhu dan kelembapannya sendiri harus ditambahkan. Karena ini sangat penting jika kita ingin menetaskan tukik dengan jenis kelamin yang diarahkan ke jantan atau betina.

Booth (2017) menyatakan kesimpulan berdasarkan hasil penelitian bahwa telur yang ditetaskan pada suhu dominan rendah (26–28ºC), akan menghasilkan tukik jantan. Sejalan dengan teori tersebut, hasil penetasan dengan tabung inkubator tanpa pasir terpantau dalam kondisi suhu fluktuatif antara 28–29º C. Sehingga tukik-tukik yang dihasilkan akan didominasi oleh jenis kelamin jantan. Ini juga merupakan sebuah alternatif untuk menjawab permasalahan dampak pemanasan global yang menyebabkan tukik jantan semakin sedikit.

Saya melihat, hasil penelitian tersebut mempunyai prospek bagus. Karena jika dikembangkan ide artificial incubation, akan berdampak signifikan terhadap angka keberhasilan penetasan. Selain itu, telur yang bisa diselamatkan tidak terbatas pada sarang alami yang terpengaruh perubahan cuaca. Tetapi juga bisa digunakan sebagai media penetasan, apabila ditemukan kondisi pasir sarang yang terkontaminasi mikroorganisme.

Tidak bisa dimungkiri, ancaman mikroorganisme ini sangat jarang terdeteksi. Karena cemarannya tak kasat mata, namun dampaknya sangat berbahaya terhadap proses inkubasi telur penyu. Sejauh ini, ada teori yang mengatakan bahwa tindakan ”headstarting” atau pembesaran tukik di kolam buatan hingga ukuran tertentu, berdampak pada insting alami tukik. Hal tersebut karena selama proses pemeliharaan, seluruh pakan untuk tukik diberikan oleh manusia. Sehingga ketika dikembalikan ke laut, mereka kesulitan mencari pakan alami. Namun itu hanya sebatas teori, terkait headstarting, dan tidak ada teori ilmiah yang membuktikan, apakah tukik hasil penetasan secara alamiah kondisi dan instingnya lebih baik dibanding dengan tukik hasil penetasan inkubator.

Meskipun penetasan dengan konsep inkubator buatan tanpa pasir, begitu menetas tukik-tukiknya akan langsung dilepasliarkan ke laut di hari yang sama. Justru jumlah tukik yang kembali ke habitat alaminya akan jauh meningkat, karena melalui penetasan tanpa pasir keberhasilannya mencapai 100%.

Prinsipnya, kita memanfaatkan teknologi yang dihasilkan manusia untuk membantu penyelamatan satwa terancam punah. Supaya populasinya bertambah dan terjaga kelestariannya. Jadi siapa pun yang peduli terhadap penyu, bisa saling berkolaborasi dan mewujudkan program konservasi.

Sudah menjadi kewajiban manusia untuk mendedikasikan pengetahuan dan apa yang dimilikinya untuk kelestarian alam dan kesejahteraan makhluk hidup lainnya. (*)

 

*) Akademisi & Peneliti Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga.

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/