23.7 C
Banyuwangi
Tuesday, March 28, 2023

Intervensi Spesifik dan Sensitif Tangani Tengkes

BANYUWANGI, Jawa Pos Radar Banyuwangi – Pemkab Banyuwangi terus menggeber upaya untuk mencegah dan mengantisipasi kasus tengkes alias stunting. Terutama kasus tengkes akibat pernikahan dini.

Sekadar diketahui, Banyuwangi selama tahun 2022 menduduki peringkat empat teratas di Jawa Timur permohonan dispensasi nikah di Pengadilan Agama (PA). Data PA Banyuwangi mencatat, dari 877 kasus anak-anak yang mengajukan dispensasi nikah, mayoritas masih berusia 15 tahun hingga 19 tahun.

Pernikahan dini tersebut berpotensi menimbulkan kasus tengkes. Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Amir Hidayat mengungkapkan, bayi yang terlahir dari ibu yang masih di bawah umur memiliki risiko mengalami tengkes.

Di sisi lain, Pemkab Banyuwangi saat ini masif melaksanakan berbagai program untuk menekan kasus tengkes. ”Demikian termasuk dalam ibu hamil risiko tinggi (bumil risti),” ujar Amir kemarin (31/1).

Kepala Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (Dinsos-PPKB) Henik Setyorini mengungkapkan, umur para pemohon yang mengajukan dispensasi nikah masih tergolong muda. Normalnya untuk perempuan menikah minimal umur 21 tahun, sedangkan laki-laki minimal 25 tahun. ”Berbagai dampak dapat muncul akibat pernikahan dini, utamanya adalah anak berpotensi mengalami tengkes,” ujarnya.

Baca Juga :  Optimistis, Stunting di Banyuwangi Bisa Tersisa 17 Persen

Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mencegah atau deteksi dini kasus tengkes yakni dengan memonitor tumbuh kembang anak setiap enam bulan sekali melalui pengukuran berat badan. Pemkab sendiri telah menggelontorkan anggaran khusus untuk penanganan anak tengkes sebesar Rp 7 miliar.

Maka, imbuh Henik, monitoring pengukuran berat badan anak dilakukan secara masif. ”Mulai Februari dilaksanakan setiap bulan untuk memastikan bantuan tepat sasaran dan melihat perkembangan anak,” ucap alumnus Institut Pemerintah Dalam Negeri (IPDN) tersebut.

Kepala Bidang (Kabid) Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Dinsos PPKB Luqman Al Hakim mengungkapkan, terdapat dua metode untuk mengantisipasi anak mengalami tengkes. Yakni melalui pencegahan dan penanganan.

Baca Juga :  Rekreasi Ternyata Bisa Mengembalikan Kondisi dan Mood si Buah Hati

Prioritas pertama pada pencegahan yakni ketika bayi masih dalam kandungan. Sedangkan prioritas kedua pendampingan tiga bulan sebelum pernikahan dan prioritas ketiga pemberian tambah darah bagi remaja.

Sementara prioritas pertama penanganan yakni pada 730 hari setelah ibu melahirkan atau dua tahun pertama kehidupan si bayi. Enam bulan bayi diberi air susu ibu (ASI), selanjutnya diberikan makanan tambahan yang bernutrisi sampai usia dua tahun. ”Prioritas kedua penanganannya yakni anak usia di atas tiga tahun,” kata Luqman.

Sementara itu, bagi anak yang mengajukan dispensasi nikah karena hamil terlebih dahulu perlu dilakukan dua intervensi. Yakni intervensi spesifik dan intervensi sensitif. ”Intervensi spesifik seperti yang dilaksanakan tenaga kesehatan dengan memantau perkembangan kesehatan sang ibu dan anak. Sedangkan intervensi sensitif dilakukan oleh lintas sektor, seperti pemenuhan kualitas sarana prasarana serta air bersih,” pungkasnya. (rei/sgt/c1)

 

 

BANYUWANGI, Jawa Pos Radar Banyuwangi – Pemkab Banyuwangi terus menggeber upaya untuk mencegah dan mengantisipasi kasus tengkes alias stunting. Terutama kasus tengkes akibat pernikahan dini.

Sekadar diketahui, Banyuwangi selama tahun 2022 menduduki peringkat empat teratas di Jawa Timur permohonan dispensasi nikah di Pengadilan Agama (PA). Data PA Banyuwangi mencatat, dari 877 kasus anak-anak yang mengajukan dispensasi nikah, mayoritas masih berusia 15 tahun hingga 19 tahun.

Pernikahan dini tersebut berpotensi menimbulkan kasus tengkes. Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Amir Hidayat mengungkapkan, bayi yang terlahir dari ibu yang masih di bawah umur memiliki risiko mengalami tengkes.

Di sisi lain, Pemkab Banyuwangi saat ini masif melaksanakan berbagai program untuk menekan kasus tengkes. ”Demikian termasuk dalam ibu hamil risiko tinggi (bumil risti),” ujar Amir kemarin (31/1).

Kepala Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (Dinsos-PPKB) Henik Setyorini mengungkapkan, umur para pemohon yang mengajukan dispensasi nikah masih tergolong muda. Normalnya untuk perempuan menikah minimal umur 21 tahun, sedangkan laki-laki minimal 25 tahun. ”Berbagai dampak dapat muncul akibat pernikahan dini, utamanya adalah anak berpotensi mengalami tengkes,” ujarnya.

Baca Juga :  RSAH Layani Swab Test Drive Thru

Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mencegah atau deteksi dini kasus tengkes yakni dengan memonitor tumbuh kembang anak setiap enam bulan sekali melalui pengukuran berat badan. Pemkab sendiri telah menggelontorkan anggaran khusus untuk penanganan anak tengkes sebesar Rp 7 miliar.

Maka, imbuh Henik, monitoring pengukuran berat badan anak dilakukan secara masif. ”Mulai Februari dilaksanakan setiap bulan untuk memastikan bantuan tepat sasaran dan melihat perkembangan anak,” ucap alumnus Institut Pemerintah Dalam Negeri (IPDN) tersebut.

Kepala Bidang (Kabid) Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Dinsos PPKB Luqman Al Hakim mengungkapkan, terdapat dua metode untuk mengantisipasi anak mengalami tengkes. Yakni melalui pencegahan dan penanganan.

Baca Juga :  Tiga Bayi Lahir pada 17 Agustus 2022 di RSI Fatimah

Prioritas pertama pada pencegahan yakni ketika bayi masih dalam kandungan. Sedangkan prioritas kedua pendampingan tiga bulan sebelum pernikahan dan prioritas ketiga pemberian tambah darah bagi remaja.

Sementara prioritas pertama penanganan yakni pada 730 hari setelah ibu melahirkan atau dua tahun pertama kehidupan si bayi. Enam bulan bayi diberi air susu ibu (ASI), selanjutnya diberikan makanan tambahan yang bernutrisi sampai usia dua tahun. ”Prioritas kedua penanganannya yakni anak usia di atas tiga tahun,” kata Luqman.

Sementara itu, bagi anak yang mengajukan dispensasi nikah karena hamil terlebih dahulu perlu dilakukan dua intervensi. Yakni intervensi spesifik dan intervensi sensitif. ”Intervensi spesifik seperti yang dilaksanakan tenaga kesehatan dengan memantau perkembangan kesehatan sang ibu dan anak. Sedangkan intervensi sensitif dilakukan oleh lintas sektor, seperti pemenuhan kualitas sarana prasarana serta air bersih,” pungkasnya. (rei/sgt/c1)

 

 

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/