BANYUWANGI, Jawa Pos Radar Banyuwangi – Penyelesaian perkara dengan cara restorative justice (RJ) di Kejaksaan Negeri (Kejari) Banyuwangi terbilang cukup minim. Dalam kurun waktu satu tahun, hanya satu perkara yang diselesaikan dengan cara RJ.
Perkara tersebut adalah penganiayaan antarsaudara di Blimbingsari. Kasus tahun 2021 tersebut dihentikan oleh kejaksaan lantaran keduanya bisa dimediasi di tahun 2022. Hal ini diakui oleh Kajari Banyuwangi Suhardjono saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis (16/2).
Suhardjono mengakui tahun 2022 hanya ada satu perkara yang diselesaikan lewat RJ. Padahal, banyak kasus yang ditangani oleh kejaksaan. ”Di tahun 2022 memang hanya ada satu kasus yang dihentikan atau RJ. Sedangkan Rumah RJ ada tiga, yaitu di Kecamatan Banyuwangi, Blimbingsari, dan Wongsorejo,” katanya.
Pihaknya akan mengoptimalkan penyelesaian perkara dengan cara restorative justice. ”Kami akan terus berusaha mengoptimalkan penyelesaian kasus dengan RJ, demi mengoptimalkan program dari pemerintah juga,” terangnya.
Pengoptimalan RJ tersebut juga untuk menekan overload hunian di Lapas Banyuwangi agar dapat menyelesaikan perkara dengan baik. ”Dengan adanya RJ menguntungkan semua pihak yang beperkara. Mereka tidak perlu menjalani masa hukuman, namun tetap harus ada persetujuan dari korban,” ungkapnya.
Kasus yang bisa diselesaikan lewat RJ memiliki beberapa kriteria. Salah satunya, tersangka bukan residivis. ”Jika tersangka seorang residivis, perkaranya tidak dapat di-RJ. Dikhawatirkan tersangka berulah kembali,” jelasnya.
Suhardjono menambahkan, sejumlah instansi, baik Polri maupun kejaksaan memiliki kriteria berbeda untuk menentukan RJ. Makanya, pemerintah akan menyerasikan petunjuk teknis RJ antara Polri dan jaksa. ”Ke depan semua akan mengedepankan penerapan RJ. Hal ini untuk meminimalisasi masyarakat yang tersandung masalah hukum,” pungkasnya. (rio/aif/c1)