23.5 C
Banyuwangi
Tuesday, May 30, 2023

Banyuwangi Sudah Ekspor Pisang Sejak 1913

BANYUWANGI – Jauh sebelum terkenal menjadi kota pariwisata, juga jauh sebelum dijuluki Kota Gandrung, Banyuwangi pernah disebut sebagai Kota Pisang.

Dengan keanekaragaman budaya kesenian dan tradisi, serta segala potensi dan sumber daya alamnya, membuat Banyuwangi mempunyai banyak julukan. Kabupaten ujung timur Pulau Jawa ini mempunyai beberapa julukan, salah satunya adalah Kota Pisang.

Sebutan ini bermula dengan banyaknya tanaman pisang di Banyuwangi sekitar tahun 1980-an. Hasil panen dari pisang di Banyuwangi banyak yang dikirim ke luar kota. Tak heran jika menjadikan Banyuwangi kala itu menjadi produsen pisang terbesar dan tersohor dengan sebutan Kota Pisang.

Sejarah Banyuwangi dikenal sebagai Kota Pisang bukan tanpa sebab. Dalam sejumlah referensi buku catatan Banyuwangi Tempoe Doeloe (BTD), Banyuwangi dikenal sebagai Kota Pisang sejak zaman penjajahan Belanda, yakni pada tahun 1913. ”Kala itu di tahun 1913, Banyuwangi telah melakukan ekspor pisang ke Australia,” ungkap Munawir, Ketua Komunitas Banyuwangi Tempo Doeloe (BTD).

Awal mulai ekspor pisang dari Banyuwangi ke Australia itu, kata Munawir, bermula dari kunjungan pengusaha asal Belanda Alexander Hunter yang datang ke kabupaten ujung timur Pulau Jawa ini. Kala itu, salah satu jenis pisang yang cocok ditanam dan dibudidayakan di Banyuwangi adalah pisang jenis ambon. ”Kala itu, pisang jenis ambon ini belum banyak dikembangkan di Indonesia,” katanya.

Baca Juga :  Direktorat Sekolah Dasar Kemendikbud Kunjungi Kampung Batara

Bahkan, pemerintah Hindia Belanda juga mendanai proyek penanaman pisang di Banyuwangi itu senilai 600 gulden, untuk pengadaan bibit pisang jenis pisang ambon sebanyak 18 ribu batang bibit. Penanaman massal bibit pisang ambon dimulai pada tahun 1913 hingga 1914.

Munawir menjelaskan, berdasar catatan BTD, pada tahun 1914, Bupati KRT Harya Natadiningrat juga menggalakkan dan membimbing rakyat Banyuwangi agar menanam pisang ambon yang dapat dipasarkan di Australia. Hal ini sempat berhasil dengan baik, sehingga mampu meningkatkan penghasilan rakyat Banyuwangi. Ini juga sempat mengharumkan daerah Banyuwangi yang terkenal sebagai penghasil pisang di kancah nasional, meskipun pamor itu kini sudah surut.

Dari penanaman massal 18 ribu bibit tanaman pisang ambon itulah, Banyuwangi kemudian bisa mengekspor buah pisang dengan jumlah besar mencapai 10 ribu tandan ke Australia. Kemudian pada tahun 1924 kembali melakukan ekspor pisang ambon kembali ke Australia dan mencapai 187.802 tandan. ”Kalau melihat dokumentasi foto-foto yang ada memang hampir semua kawasan ditanami pisang, dan saat berbuah juga diangkut menggunakan cikar yang mirip bak truk dikumpulkan dalam jumlah besar,” jelasnya.

Pisang-pisang tersebut kemudian dikirim ke Australia dari jalur laut yakni menggunakan kapal. Bertambahnya tanaman pisang di Banyuwangi itu bukan mustahil karena tanaman pisang hanya cukup sekali tanam dan tunasnya akan berkembang terus-menerus. Pantas jika tanaman pisang di Banyuwangi jumlahnya kian bertambah banyak.

Baca Juga :  Drop sebelum Operasi, Karyawan Bank Mandiri Itu Akhirnya Meninggal

Pamor Banyuwangi sebagai Kota Pisang itu terus bertahan hingga tahun 1980-an, meskipun ekspor pisang ke Australia sudah berhenti saat pendudukan Jepang. ”Jadi kalau dari catatan sejarah dengan bukti-bukti foto yang ada, memang Banyuwangi ini dulu adalah kawasan sentra penghasil pisang terbesar dan sudah ekspor di zaman Belanda,” terang Munawir.

Sayangnya, ekspor buah pisang itu mulai menurun dan terhenti sejak era zaman penjajahan Jepang. Dermaga Pantai Boom sebagai tempat sandarnya kapal dan satu-satunya alat transportasi ekspor pisang ke Australia, saat itu dijaga oleh tentara Jepang. ”Saat Jepang berkuasa itu, seluruh hasil bumi dari Banyuwangi tidak boleh keluar,” katanya.

Akibatnya, ribuan tandan pisang menumpuk di dermaga Pelabuhan Boom, bahkan sampai meluber ke jalan-jalan. Karena banyak terbuang, salah seorang warga Kampung Mandar bernama Saleh, kemudian memanfaatkan buah pisang yang sudah matang tersebut untuk dijemur di bawah terik matahari. Hingga akhirnya, olahan tersebut menjadi sebuah makanan khas yang disebut pisang sale. ”Jadi, awal mula pisang sale itu diambil dari nama salah satu warga, yang kala itu memanfaatkan pisang yang menumpuk terbuang bernama Saleh. Karena logat Madura, maka menyebut pisang sale,” pungkas Munawir. 

BANYUWANGI – Jauh sebelum terkenal menjadi kota pariwisata, juga jauh sebelum dijuluki Kota Gandrung, Banyuwangi pernah disebut sebagai Kota Pisang.

Dengan keanekaragaman budaya kesenian dan tradisi, serta segala potensi dan sumber daya alamnya, membuat Banyuwangi mempunyai banyak julukan. Kabupaten ujung timur Pulau Jawa ini mempunyai beberapa julukan, salah satunya adalah Kota Pisang.

Sebutan ini bermula dengan banyaknya tanaman pisang di Banyuwangi sekitar tahun 1980-an. Hasil panen dari pisang di Banyuwangi banyak yang dikirim ke luar kota. Tak heran jika menjadikan Banyuwangi kala itu menjadi produsen pisang terbesar dan tersohor dengan sebutan Kota Pisang.

Sejarah Banyuwangi dikenal sebagai Kota Pisang bukan tanpa sebab. Dalam sejumlah referensi buku catatan Banyuwangi Tempoe Doeloe (BTD), Banyuwangi dikenal sebagai Kota Pisang sejak zaman penjajahan Belanda, yakni pada tahun 1913. ”Kala itu di tahun 1913, Banyuwangi telah melakukan ekspor pisang ke Australia,” ungkap Munawir, Ketua Komunitas Banyuwangi Tempo Doeloe (BTD).

Awal mulai ekspor pisang dari Banyuwangi ke Australia itu, kata Munawir, bermula dari kunjungan pengusaha asal Belanda Alexander Hunter yang datang ke kabupaten ujung timur Pulau Jawa ini. Kala itu, salah satu jenis pisang yang cocok ditanam dan dibudidayakan di Banyuwangi adalah pisang jenis ambon. ”Kala itu, pisang jenis ambon ini belum banyak dikembangkan di Indonesia,” katanya.

Baca Juga :  Salawat ”Kebangsaan” NU Itu Ternyata Lahir di Banyuwangi

Bahkan, pemerintah Hindia Belanda juga mendanai proyek penanaman pisang di Banyuwangi itu senilai 600 gulden, untuk pengadaan bibit pisang jenis pisang ambon sebanyak 18 ribu batang bibit. Penanaman massal bibit pisang ambon dimulai pada tahun 1913 hingga 1914.

Munawir menjelaskan, berdasar catatan BTD, pada tahun 1914, Bupati KRT Harya Natadiningrat juga menggalakkan dan membimbing rakyat Banyuwangi agar menanam pisang ambon yang dapat dipasarkan di Australia. Hal ini sempat berhasil dengan baik, sehingga mampu meningkatkan penghasilan rakyat Banyuwangi. Ini juga sempat mengharumkan daerah Banyuwangi yang terkenal sebagai penghasil pisang di kancah nasional, meskipun pamor itu kini sudah surut.

Dari penanaman massal 18 ribu bibit tanaman pisang ambon itulah, Banyuwangi kemudian bisa mengekspor buah pisang dengan jumlah besar mencapai 10 ribu tandan ke Australia. Kemudian pada tahun 1924 kembali melakukan ekspor pisang ambon kembali ke Australia dan mencapai 187.802 tandan. ”Kalau melihat dokumentasi foto-foto yang ada memang hampir semua kawasan ditanami pisang, dan saat berbuah juga diangkut menggunakan cikar yang mirip bak truk dikumpulkan dalam jumlah besar,” jelasnya.

Pisang-pisang tersebut kemudian dikirim ke Australia dari jalur laut yakni menggunakan kapal. Bertambahnya tanaman pisang di Banyuwangi itu bukan mustahil karena tanaman pisang hanya cukup sekali tanam dan tunasnya akan berkembang terus-menerus. Pantas jika tanaman pisang di Banyuwangi jumlahnya kian bertambah banyak.

Baca Juga :  Temu Misti Siap Mengajar Gandrung sampai Akhir Hayat

Pamor Banyuwangi sebagai Kota Pisang itu terus bertahan hingga tahun 1980-an, meskipun ekspor pisang ke Australia sudah berhenti saat pendudukan Jepang. ”Jadi kalau dari catatan sejarah dengan bukti-bukti foto yang ada, memang Banyuwangi ini dulu adalah kawasan sentra penghasil pisang terbesar dan sudah ekspor di zaman Belanda,” terang Munawir.

Sayangnya, ekspor buah pisang itu mulai menurun dan terhenti sejak era zaman penjajahan Jepang. Dermaga Pantai Boom sebagai tempat sandarnya kapal dan satu-satunya alat transportasi ekspor pisang ke Australia, saat itu dijaga oleh tentara Jepang. ”Saat Jepang berkuasa itu, seluruh hasil bumi dari Banyuwangi tidak boleh keluar,” katanya.

Akibatnya, ribuan tandan pisang menumpuk di dermaga Pelabuhan Boom, bahkan sampai meluber ke jalan-jalan. Karena banyak terbuang, salah seorang warga Kampung Mandar bernama Saleh, kemudian memanfaatkan buah pisang yang sudah matang tersebut untuk dijemur di bawah terik matahari. Hingga akhirnya, olahan tersebut menjadi sebuah makanan khas yang disebut pisang sale. ”Jadi, awal mula pisang sale itu diambil dari nama salah satu warga, yang kala itu memanfaatkan pisang yang menumpuk terbuang bernama Saleh. Karena logat Madura, maka menyebut pisang sale,” pungkas Munawir. 

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/