SONGGON, Jawa Pos Radar Banyuwangi – Keturunan generasi kelima (canggah) dari Mbah Mas Moch Soleh, Wahyu Naga Pratala saat menghadiri kegiatan di Dusun Sroyo Timur, Desa Bangunsari, Kecamatan Songgon menceritakan sosok leluhurnya saat masih hidup. “Mbah Mas Moch Soleh ini orangnya tertutup,” cetusnya, kemarin (24/5).
Menurutnya, tidak banyak keturunannya yang mengetahui secara pasti sosoknya. Bahkan, Lolok, sapaan akrabnya, menyebut sosok canggah-nya itu unik karena menutup diri. “Tapi banyak tokoh kiai lama belajar di situ, seperti Kiai H Hasyim Ashari, Kiai H. Samsul Arifin Situbondo, Kyai H. Hamid Pasuruan, Kyai H. Kholil Bangkalan, Kyai H. Abdullah Faqih Cemara Banyuwangi, Kyai H. Zakaria Pamekasan, Kyai H Irsyad Banyuwangi, dan yang paling muda adalah Kyai H. Harun Banyuwangi,” ungkapnya.
Mbah Soleh, terang Lolok, lahir sekitar tahun 1847 dan masih memiliki hubungan kerabat dengan Mas Rempeg Jagapati. “Beliau ini generasi keempat atau cicitnya Jagapati,” katanya pada Jawa Pos Radar Genteng.

Dengan demikian, kata Lolok, Mbah Soleh masih memiliki hubungan kerabat dengan Raja Blambangan, Prabu Tawang Alun. “Mas Rempeg Jagapati cicit dari Raja Blambangan dari keturunan selir,” ungkapnya.
Semasa hidupnya, Mbah Mas Moch Soleh diketahui merupakan salah satu penyebar agama Islam dengan cara Tasawuf, karena tidak membuka pondok pesantren. “Sistem belajarnya khusus,” imbuhnya.
Selain itu, Mbah Soleh, juga dikenal sebagai penasihat spiritual, bupati Banyuwangi kelima, R.T. Pringgokoesoemo. “Beliau ini bupati Banyuwangi terakhir yang memiliki trah langsung dengan Prabu Tawang Alun,” terang Lolok.
Saat masih menjabat sebagai penasihat spiritual, Mbah Soleh tinggal di Lingkungan Temenggungan (belakang Pendapa Sabha Swagata Blambangan sekarang). “Setelahnya, Mbah Soleh minggir ke utara dan tinggal di Lingkungan Manggisan sampai meninggalnya,” ujarnya.
Nama Lingkungan Manggisan sendiri tidak jauh dari kehidupan Mbah Soleh. Sebab, tanaman yang seharusnya tidak tumbuh di lingkungan dekat laut itu malah bisa tumbuh. “Mbah Soleh menanam manggis di kebunnya dan bisa berbuah,” ungkapnya.
Selain dikenal sebagai penyebar agama, Mbah Soleh juga dikenal sebagai ahli pengobatan dan paralegal. Banyak orang meminta kesembuhan dari Mbah Soleh. “Mbah Soleh juga bisa menjadi penengah perselisihan layaknya seorang paralegal pada masanya,” katanya.
Mbah Soleh, diketahui memiliki enam orang putra. Konon, wafatnya sendiri hampir bebarengan dengan putra keduanya, sekitar tahun 1901. “Keduanya dimakamkan bersebelahan di makam Manggisan yang kini dikeramatkan masyarakat sekitar,” cetusnya.
Kini, pesarean Mbah Soleh kerap dikunjungi oleh para peziarah. Tidak hanya dari Banyuwangi saja, namun juga dari kota lainnya. “Ada juga peziarah dari Jakarta yang berkunjung ke makam Mbah Soleh,” ungkapnya. (gas)