RADAR GENTENG – Warga Desa Wringinrejo, Kecamatan Gambiran, Banyuwangi, sejak zaman dulu memegangi pesan leluhur yang melarang menggantung atau membunyikan alat musik tradisional berupa gong. Jika dilanggar, akan menyebabkan petaka.
Desa Wringinrejo, Kecamatan Gambiran di sebelah barat berbatasan dengan Desa Kembiritan, Kecamatan Genteng, dan bagian timur dengan Desa Tamanagung, Kecamatan Cluring. Di desa ini punya aturan yang unik dan tidak tertulis. Warga dilarang menggantung atau membunyikan alat musik gong.
Aturan yang berbau mistis itu konon hasil perjanjian sesepuh desa dengan danyang di daerah itu. Perjanjian itu berisi jika masih sering berpesta dan berfoya-foya, maka danyang di daerah itu tidak terima dan akan mengganggu kehidupan warga. Batas waktu bagi yang melangar hingga sewindu atau delapan tahun lamanya. Sepanjang waktu itu, petaka selalu menghantui kepada orang yang melanggar perjanjian.
Tidak hanya pelaku, tapi semua penabuh alat musik lain dalam pertunjukan kesenian itu. Bagi pemilik hajat, semua keluarganya akan mendapat petaka. Sanksi itu bermacam-macam. Ada yang berupa penyakit, ada juga yang keluarganya hancur hingga berujung perceraian. Ada juga yang usahanya tiba-tiba mengalami kemerosotan hingga harta dan asetnya habis. Petaka itu ada yang berdampak langsung, atau juga mundur di lain hari.
Dari cerita yang berkembang di masyaraka, dulu masyarakat di Desa Wringinrejo itu serba berkecukupan. Warga di daerah ini suka berpesta, bersenang-senang, dan hura-hura. Saat berpesta, warga selalu menggelar pertunjukan kesenian daerah seperti teledek, tayub, gandrung, jaranan, dan wayang kulit. Semua alat kesenian itu memakai gong. “Perjanjian sesepuh dengan danyang, itu bukti tidak ada,” terang salah satu tokoh masyarakat Desa Wringinrejo, Farid Susanto, 40.
Tapi larangan untuk tidak menabuh dan menggantung gong, itu dilaksanakan oleh warga. Malahan, warga meyakini bila dilanggar bisa menimbulkan bencana. “Warega tidak ada yang berani membuat hiburan dengan ada gong,” cetusnya.
Di Desa Wringinrejo ada empat dusun, yaitu Dusun Krajan, Tamanrejo, Mulyorejo dan Toyamas. Di desa ini ada semacam garis wilayah berupa jalan yang membentuk lingkaran. “Yang rumahnya berada di dalam lingkaran garis jalan, masyarakatnya meyakini cerita itu,” ungkapnya.
Pernah ada kejadian salah satu warga melaksanakan hajatan pernikahan. Warga itu menggelar pertunjukan wayang kulit dengan menggunakan gong. Anehnya, saat pagelaran dimulai semua penabuh dan dalangnya tertidur. “Kejadian itu saat pertunjukan wayang baru dimainkan, lokasinya di jalan simpang empat di dekat Pasar Dusun Mulyorejo,” katanya.
Di Dusun Toyamas pernah juga kejadian yang sama. Di daerah itu ada warga yang punya hajatan dengan mengadakan pertunjukan kesenian jaranan. “Warga yang mengundang mengalami konflik keluarga dan berujung perceraian,” ungkapnya.
Sampai saat ini, warga yang melakukan pawai kesenian lewat batas wilayah imajiner itu, pasti akan menurunkan gong dari gantungannya. Keyakinan itu sampai sekarang masih dilaksanakan. Jika sampai melanggar, orang yang membunyikangong bakal celaka. “Tidak hanya yang membunyikan, tapi juga seluruh yang membunyikan alat musik akan terdampak petaka,” imbuh Ahmad Heriyanto, 49, salah satu warga Dusun Toyamas.
Heriyanto mengaku sejak kecil tidak pernah melihat ada pertunjukan kesenian yang memakai alat musik gong. Jika terpaksa, musik tradisional dihidupkan dengan suara pengganti melalui aplikasi elektronik atau kaset. “Saya tidak pernah melihat ada pertunjukan yang memakai gong di sini, padahal di Banyuwangi gudangnya kesenian,” katanya.
Kalau pun ada yang berani melanggar, seluruh keluarga orang yang mengadakan kesenian itu akan mendapat petaka. Hingga kini, seluruh warga tetap menjaga petuah itu agar tidak celaka. Tidak ada ritual khusus di wilayah dusun itu. “Pesan moral leluhur sampai sekarang tetap dijaga dan dilaksanakan oleh warga Toyamas,” pungkasnya.
Kepala Desa (Kades) Wringinrejo, Muadim mengungkapkan sejarah desanya itu ada sekitar tahun 1904. Saat itu, yang membabat hutan sampai akhirnya jadi pemukiman penduduk Mbah Ikrom. “Memang ada kepercayaan tidak boleh menabuh gong,” katanya.
Dengan nada serius Muadim mengisahkan pernah ada warga Wiryo Minco yang mengadakan pertunjukan wayang kulit. Saat pertunjukan akan dimulai, wiyogo, tuan rumah, dan penonton tidak sadarkan diri. “Semuanya pingsan,” ujarnya.
Berita itu akhirnya sampai di telinga para santri, dan mereka melaporkan ke Mbah Ikrom. Di tengah perjalanan, Mbah Ikrom dihadang oleh kabut. “Mbah Ikrom minta santri yang melapor untuk mengumandangkan azan ke empat arah, barat, utara, timur, dan selatan. Tujuannya uiituk menghilangkan jin,” terangnya.
Setelah sampai di tempat acara, Mbah Ikrom mencambuki orang-orang yang tidak sadatkan diri itu dengan surbannya. “Jinnya keluar dan minta syarat agar diberi pesangon berupa kerbau yang dikebiri atau dikhitan,” katanya.
Mbah Ikrom menuruti persyaratan itu, dan segera mencari kerbau untuk disembelih dan dibuat syukuran desa. “Kepercayaan tidak membunyikan gong ini, akhirnya dipegang secara turun menurun oleh penduduk desa,” imbuhnya.
Setiap kegiatan bersih Desa Wringinrejo, masih menggelar wayang kulit semalam suntuk. Terakhir, kegiatan itu diadakan pada Sabtu (4/6/2022) di halaman Kantor Desa Wringinrejo. “Yang mitosnya dilarang itu di Dusun Toyamas dan Mulyorejo, sedang di Dusun Krajan dan Dusun Tamanrejo tidak ada larangan,” pungkasnya. (gas/abi)