SILIRAGUNG, Radar Banyuwangi – Berawal dari rasa kesal. Berujung pada keberhasilan mengelola usaha budi daya maggot. Omzet yang diraih pun terbilang cukup besar. Seperti itulah sepak terjang sekelompok anak muda asal Desa/Kecamatan Siliragung, yakni Dirga, Sundariyanto, Kacung, Kamdan, Ari, dan Taukhid.
Cerita bermula dari kekesalan sekelompok anak muda Desa/Kecamatan Siliragung atas banyaknya sampah yang mengganggu ketika mereka memancing di sungai. Namun, dari rasa kesal itulah lantas tercetus ide untuk melakukan pengelolaan sampah. Bahkan kini, mereka telah sanggup mengelola tak kurang dari 500 kilogram (kg) sampah organik setiap hari.
Mereka adalah Dirga, Sundariyanto, Kacung, Kamdan, Ari, dan Taukhid. Anak-anak muda itu mengelola sampah organik yang diambil dari warung, tengkulak buah, dan sisa-sisa hajatan di rumah warga.
Sampah organik tersebut dimanfaatkan untuk budi daya maggot atau larva lalat tentara hitam (black soldier fly/BSF). Hasil budi daya dijual dalam bentuk maggot fresh dan kering. Maggot di pasaran sangat diminati sebagai pakan ternak berprotein tinggi. ”Produksi rata-rata mencapai 1 kuintal per pekan. Harga jual Rp 7 ribu per kg untuk maggot fresh dan Rp 15 ribu tiap kemasan untuk maggot kering,” Sundariyanto.
Dia mengaku, permintaan maggot kering cukup banyak. Bahkan, pihaknya rutin memasok maggot ke Bali dan Bandung. Sundariyanto menjelaskan, usaha yang dikelola bersama teman-temannya itu dimulai pada 2018 lalu. Mereka mendirikan Pega Indonesia, akronim Pemuda Etan Gladag (pemuda timur jembatan) karena lokasi pengelolaan sampah mereka berada di sisi timur jembatan desa setempat.
”Dulu kami suka nongkrong di dekat jembatan sekaligus hobi memancing. Saat memancing, kami sering dapat sampah. Akhirnya tercetus membikin usaha pengolahan sampah ini. Didukung oleh banyak pihak, Alhamdulillah bisa berjalan sampai sekarang,” kata dia.
Kini mereka juga melakukan pemilahan sampah dari sumbernya dengan melibatkan warga desa setempat. Mereka melakukan sosialisasi hingga memberikan kotak sampah kepada warga di Desa Pesanggaran dan Siliragung. ”Dulu suka nongkrong, sekarang kita semua aktif mengelola sampah. Keluarga juga ikut terlibat di usaha pengelolaan sampah ini,” kata Sundariyanto.
Tidak hanya maggot, mereka juga menjadikan sampah untuk dijadikan pupuk organik. ”Kita lakukan pemilahan sesuai jenisnya. Lalu sampah organik kita olah menjadi berbagai produk seperti pupuk organik cair (POC), pupuk organik padat (POP), dan insektisida pengusir lalat buah,” tuturnya.
Sundariyanto menyebut, pupuk organik dan maggot hasil produksi mereka, saat ini sudah menjadi langganan banyak petani, baik lokal maupun luar daerah. Permintaan pupuk organik cair mencapai 100 liter per bulan dengan harga Rp 5.000 per liter. ”Kami utamakan permintaan petani lokal. Karena misi bukan semata-mata profit, namun juga memberikan manfaat kepada warga sekitar. Untuk petani tak jarang kita kasih gratis POC, sekaligus kampanye pertanian organik,” pungkasnya. (sgt/aif/c1)