RADAR BANYUWANGI – Kesenian asli Banyuwangi telah mendarah daging dalam diri Sutoyo. Selama 45 tahun, pria yang tinggal di Kelurahan Singonegaran tersebut aktif menciptakan berbagai alat musik tradisional, seperti angklung, genta angin, dan alat musik patrol.
Dari sebuah kios pinggir Jalan Raya Letkol Istiqlah, Kelurahan Penataban, Kecamatan Giri, Banyuwangi, terdengar bunyi indah hasil permainan alat musik tradisional. Seorang pria paro baya tampak asyik memainkan alat musik dengan gending Osengan. Sembari memejamkan mata, pria berpakaian warna putih itu menikmati setiap nada yang dihasilkan dari alat musik yang dia mainkan.
Dia adalah Sutoyo, warga asli Singonegaran yang telah menekuni alat musik tradisional Banyuwangi selama puluhan tahun. Sehari-harinya, Sutoyo berada di kios miliknya yang menjual angklung, genta angin, dan alat musik patrol.
Sejak tahun 1978, Sutoyo mulai mengamati dan mencoba membuat alat musik angklung dengan nada khas Oseng dan Sunda. ”Ada perbedaan dari kedua jenis angklung tersebut. Kalau angklung Oseng tidak ada kunci fa dan si, hanya do, re, mi, so, la,” ujarnya.
Meski tak lagi muda, pria berusia 62 tahun itu masih aktif dan giat membuat berbagai alat musik. Bapak lima anak itu tidak hanya kreatif membuat angklung. Dia juga memproduksi alat musik lain yang tak kalah indah bunyinya, seperti genta angin dan patrol.
Sutoyo mengaku tak pernah mendapatkan pembelajaran khusus tentang dunia musik. Hanya dengan melihat dan mengamati angklung, Sutoyo mampu membuatnya. ”Dulu tidak ada kursus musik, ya melihat orang buat alat musik. Kalau tidak tahu, baru tanya,” katanya.
Suami dari Sulikah itu mengaku tidak dapat membuat alat musik dalam segala kondisi. Dia membutuhkan suasana yang tenang dan tidak ada kebisingan selama proses kreasi. Suasana yang tenang menjadi kunci terciptanya alat musik yang sempurna. ”Kalau berhubungan dengan nada tidak bisa diganggu. Kalau ada yang mengajak bicara, ya saya diam,” tuturnya.
Pekerjaan sebagai perajin angklung telah dilakoni Sutoyo selama 45 tahun. Hal itu demi turut serta melestarikan kesenian asli Bumi Blambangan. Dia berharap usahanya kini dapat dilanjutkan oleh generasi muda.
Menjadi perajin angklung bukan untuk gantungan hidup. Kendati begitu, Sutoyo tidak bisa memungkiri dengan angklung dia pernah merasakan masa keemasan. Tahun 1996, Sutoyo bahkan bisa membeli sepeda motor baru merek Yamaha Crypton berkat kerajinan angklung. ”Itu hasil kerja keras saya selama ini dan cukup membanggakan,” ujarnya bersyukur.
Kini, Sutoyo masih setia menunggu kedatangan pembeli atau anak muda yang sekadar bertanya tentang alat musik buatannya. Dengan senang hati, Sutoyo meladeni segala keingintahuan masyarakat tentang alat musik yang memiliki ciri khas nada Oseng tersebut. (rei/aif/c1)