29.1 C
Banyuwangi
Thursday, March 23, 2023

Ekspedisi Susur Sungai Kalilo (13)

Dalam Peta Buatan Belanda 1915 Tertulis Kali Klampok

BANYUWANGI, Jawa Pos Radar Banyuwangi – Dalam peta Banyuwangi yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda pada 1915, tampak sebuah sungai yang membelah kota Banyuwangi. Sungai tersebut terlihat lebih besar daripada sungai-sungai lain yang berada di kota Banyuwangi.

Dalam peta yang sudah usang tersebut tidak tertulis Kalilo atau nama lain yang serupa. Sungai yang bermuara di Pantai Boom tersebut justru tertulis ”K. Klampok”. Maksudnya Sungai Klampok. Huruf ”K” pada peta tersebut merupakan singkatan kata ”kali” alias sungai.

Informasi ini sangat mengejutkan tim Susuka. Selama ini sungai yang membelah kota Banyuwangi yang airnya kerap meluap di Lingkungan Lebak, Kelurahan Tukangkayu, itu dikenal dengan nama Kalilo. Hampir semua masyarakat kota Banyuwangi setuju dengan nama tersebut. Mayoritas warga memang menyebut Sungai Kalilo.

Dinas PU Pengairan seolah mengiyakan bahwa sungai yang melintasi Kelurahan Singonegaran hingga Desa Grogol tersebut bernama Kalilo. Tidak tanggung-tanggung, ada tulisan besar ”Kalilo Banyuwangi” di selatan jembatan Suasana, Kelurahan Singonegaran. Di selatannnya lagi ada tulisan ”Lohkanti” yang tidak kalah besar.

Lohkanti adalah nama seorang perempuan Bali yang diduga menjadi asal-usul nama Kalilo. Dengan demikian, Pemkab Banyuwangi seolah menahbiskan sungai tersebut benar-benar bernama Kalilo. Penamaan tersebut tak sampai mendapatkan penolakan dari masyarakat. Selama ini, sebagian besar masyarakat Banyuwangi memang meyakini sungai tersebut bernama Kalilo.

Apalagi, pada tahun 1990 terbit lagu berjudul Kali Elo yang diciptakan Andang C.Y. dan B.S. Nurdian. Dalam lagu tersebut ada satu lirik yang menyebut, ”Kali Elo eman, milio nang segoro (Kali Elo sayang, mengalirlah ke laut)”. Lagu tersebut mengindikasikan bahwa Sungai Kalilo bermuara di laut. Sementara itu, di tengah kota Banyuwangi tidak ada sungai lain yang mengalir ke laut selain yang bermuara di Pantai Boom tersebut. Jadi, penamaan Sungai Kalilo pada sungai yang membelah kota tersebut sangat masuk akal.

Baca Juga :  Sulit Ubah Kebiasaan Buruk Buang Tinja ke Sungai

Ketua Komunitas Banyuwangi Geographic Minhajul Qowim punya pendapat lain terkait penamaan Kalilo. Menurut Qowim, pada masa lalu Sungai Kalilo bernama Kali Klampok. Informasi ini didapat dari beberapa narasumber yang dimintai informasi pada beberapa observasi yang pernah dia lakukan.

Qowim mengira nama Kali Klampok tersebut adalah nama resmi yang diberikan pemerintah, sedangkan Kalilo nama yang diberikan oleh masyarakat secara komunal. ”Saya awalnya mengira Kalilo sebutan yang diberikan masyarakat kepada Kali Klampok. Ternyata Kalilo adalah nama sungai lain,” kata Qowim yang juga ikut dalam ekspedisi Susuka selama sepekan penuh.

Menurut Qowim, informasi baru ini sangat menarik dan perlu disampaikan kepada masyarakat luas. Sebab, sebuah ekspedisi susur sungai tidak harus menghasilkan data yang melulu berhubungan dengan solusi atas masalah yang kerap muncul. Namun, perlu juga menghasilkan informasi baru yang selama ini tidak diketahui masyarakat luas. ”Salah satunya terkait nama sungai yang selama ini ternyata salah. Kita menyangkanya bernama Kalilo, ternyata Kali Klampok. Sementara Kalilo ada di tempat lain,” tambahnya.

Menurut Qowim, tidak ada yang salah dengan penyebutan Kali Klampok sebagai Kalilo. Sebab, selama ini masayarakat Banyuwangi memang menyebutnya Kalilo. ”Ketika ekspedisi ini diberi judul Ekspedisi Susur Sungai Kalilo, ya tidak apa-apa. Kalau diberi nama Ekspedisi Kali Klampok malah nggak ada yang tahu. Masyarakat nanti malah bingung,” ujar mantan copy editor Jawa Pos Radar Banyuwangi itu.

Lantas, di manakah Sungai Kalilo yang sahih? Beradasarkan peta Banyuwangi yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda pada 1915, Kalilo terlacak sebagai sebuah aliran sungai kecil yang bermuara di Kali Klampok, tepatnya di selatan Jembatan Suasana, Kelurahan Singonegaran. Pada peta tersebut Sungai Kalilo ditulis dengan nama ”K. Loh”.

Baca Juga :  Deretan MCK Bertirai Terpal Berdiri di Pinggir Sungai

Berdasarkan peta yang sama, Sungai Kalilo terlihat berhulu di Lingkungan Gentengan (belakang RSUD Blambangan), Kelurahan Singonegaran. Beberapa anggota tim Susuka yang berasal dari komunitas Banyuwangi Geographic langsung melakukan penelusuran ke lokasi.

Sesampai di lokasi ternyata bukan sebuah sungai yang didapati. Sungai Kalilo yang ditulis Belanda pada 1915 tersebut kini lebih tepat disebut sebagai saluran air. Saat ini kondisinya sangat sempit, menyerupai got, dengan debit air yang sangat kecil.

Rosi Oktaviani, anggota tim Susuka, yang kebetulan rumahnya hanya beberapa langkah dari lokasi menyebutkan, sungai tersebut lebih dikenal dengan nama Kali Mayit. Rosi tidak bisa menjelaskan kenapa sungai tersebut disebut Kali Mayit.

Rosi yang baru tujuh tahun tinggal di lingkungan tersebut menjelaskan, meski sungai tersebut sangat sempit dan debitnya kecil, warga memanfaatkan sungai tersebut untuk berbagai keperluan. ”Masih banyak warga yang memanfaatkan sungai tersebut. Misalnya untuk mencuci dan kebutuhan memasak,” ungkapnya.

Ditanya apakah ada warga sekitar yang menyebut Kalilo, Rosi menyatakan tidak ada. ”Semua orang di sekitar menyebutnya Kali Mayit,” tegas Rosi.

Rosi berharap Pemkab Banyuwangi bersama Jawa Pos Radar Banyuwangi meluruskan kesalahkaprahan yang selama ini terjadi. Tujuannya, minimal agar masyarakat tahu bahwa selama ini sungai yang dianggap bernama Kalilo ternyata bernama Kali Klampok. ”Perkara masyarakat tetap menyebutnya Kalilo, terserah mereka,” pungkasnya. (fre/aif/c1/bersambung)

 

BANYUWANGI, Jawa Pos Radar Banyuwangi – Dalam peta Banyuwangi yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda pada 1915, tampak sebuah sungai yang membelah kota Banyuwangi. Sungai tersebut terlihat lebih besar daripada sungai-sungai lain yang berada di kota Banyuwangi.

Dalam peta yang sudah usang tersebut tidak tertulis Kalilo atau nama lain yang serupa. Sungai yang bermuara di Pantai Boom tersebut justru tertulis ”K. Klampok”. Maksudnya Sungai Klampok. Huruf ”K” pada peta tersebut merupakan singkatan kata ”kali” alias sungai.

Informasi ini sangat mengejutkan tim Susuka. Selama ini sungai yang membelah kota Banyuwangi yang airnya kerap meluap di Lingkungan Lebak, Kelurahan Tukangkayu, itu dikenal dengan nama Kalilo. Hampir semua masyarakat kota Banyuwangi setuju dengan nama tersebut. Mayoritas warga memang menyebut Sungai Kalilo.

Dinas PU Pengairan seolah mengiyakan bahwa sungai yang melintasi Kelurahan Singonegaran hingga Desa Grogol tersebut bernama Kalilo. Tidak tanggung-tanggung, ada tulisan besar ”Kalilo Banyuwangi” di selatan jembatan Suasana, Kelurahan Singonegaran. Di selatannnya lagi ada tulisan ”Lohkanti” yang tidak kalah besar.

Lohkanti adalah nama seorang perempuan Bali yang diduga menjadi asal-usul nama Kalilo. Dengan demikian, Pemkab Banyuwangi seolah menahbiskan sungai tersebut benar-benar bernama Kalilo. Penamaan tersebut tak sampai mendapatkan penolakan dari masyarakat. Selama ini, sebagian besar masyarakat Banyuwangi memang meyakini sungai tersebut bernama Kalilo.

Apalagi, pada tahun 1990 terbit lagu berjudul Kali Elo yang diciptakan Andang C.Y. dan B.S. Nurdian. Dalam lagu tersebut ada satu lirik yang menyebut, ”Kali Elo eman, milio nang segoro (Kali Elo sayang, mengalirlah ke laut)”. Lagu tersebut mengindikasikan bahwa Sungai Kalilo bermuara di laut. Sementara itu, di tengah kota Banyuwangi tidak ada sungai lain yang mengalir ke laut selain yang bermuara di Pantai Boom tersebut. Jadi, penamaan Sungai Kalilo pada sungai yang membelah kota tersebut sangat masuk akal.

Baca Juga :  Musala Al Ishlah Jogolatri Terlihat Baru Lagi

Ketua Komunitas Banyuwangi Geographic Minhajul Qowim punya pendapat lain terkait penamaan Kalilo. Menurut Qowim, pada masa lalu Sungai Kalilo bernama Kali Klampok. Informasi ini didapat dari beberapa narasumber yang dimintai informasi pada beberapa observasi yang pernah dia lakukan.

Qowim mengira nama Kali Klampok tersebut adalah nama resmi yang diberikan pemerintah, sedangkan Kalilo nama yang diberikan oleh masyarakat secara komunal. ”Saya awalnya mengira Kalilo sebutan yang diberikan masyarakat kepada Kali Klampok. Ternyata Kalilo adalah nama sungai lain,” kata Qowim yang juga ikut dalam ekspedisi Susuka selama sepekan penuh.

Menurut Qowim, informasi baru ini sangat menarik dan perlu disampaikan kepada masyarakat luas. Sebab, sebuah ekspedisi susur sungai tidak harus menghasilkan data yang melulu berhubungan dengan solusi atas masalah yang kerap muncul. Namun, perlu juga menghasilkan informasi baru yang selama ini tidak diketahui masyarakat luas. ”Salah satunya terkait nama sungai yang selama ini ternyata salah. Kita menyangkanya bernama Kalilo, ternyata Kali Klampok. Sementara Kalilo ada di tempat lain,” tambahnya.

Menurut Qowim, tidak ada yang salah dengan penyebutan Kali Klampok sebagai Kalilo. Sebab, selama ini masayarakat Banyuwangi memang menyebutnya Kalilo. ”Ketika ekspedisi ini diberi judul Ekspedisi Susur Sungai Kalilo, ya tidak apa-apa. Kalau diberi nama Ekspedisi Kali Klampok malah nggak ada yang tahu. Masyarakat nanti malah bingung,” ujar mantan copy editor Jawa Pos Radar Banyuwangi itu.

Lantas, di manakah Sungai Kalilo yang sahih? Beradasarkan peta Banyuwangi yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda pada 1915, Kalilo terlacak sebagai sebuah aliran sungai kecil yang bermuara di Kali Klampok, tepatnya di selatan Jembatan Suasana, Kelurahan Singonegaran. Pada peta tersebut Sungai Kalilo ditulis dengan nama ”K. Loh”.

Baca Juga :  UPZ Sempu Peduli Warga Sakit

Berdasarkan peta yang sama, Sungai Kalilo terlihat berhulu di Lingkungan Gentengan (belakang RSUD Blambangan), Kelurahan Singonegaran. Beberapa anggota tim Susuka yang berasal dari komunitas Banyuwangi Geographic langsung melakukan penelusuran ke lokasi.

Sesampai di lokasi ternyata bukan sebuah sungai yang didapati. Sungai Kalilo yang ditulis Belanda pada 1915 tersebut kini lebih tepat disebut sebagai saluran air. Saat ini kondisinya sangat sempit, menyerupai got, dengan debit air yang sangat kecil.

Rosi Oktaviani, anggota tim Susuka, yang kebetulan rumahnya hanya beberapa langkah dari lokasi menyebutkan, sungai tersebut lebih dikenal dengan nama Kali Mayit. Rosi tidak bisa menjelaskan kenapa sungai tersebut disebut Kali Mayit.

Rosi yang baru tujuh tahun tinggal di lingkungan tersebut menjelaskan, meski sungai tersebut sangat sempit dan debitnya kecil, warga memanfaatkan sungai tersebut untuk berbagai keperluan. ”Masih banyak warga yang memanfaatkan sungai tersebut. Misalnya untuk mencuci dan kebutuhan memasak,” ungkapnya.

Ditanya apakah ada warga sekitar yang menyebut Kalilo, Rosi menyatakan tidak ada. ”Semua orang di sekitar menyebutnya Kali Mayit,” tegas Rosi.

Rosi berharap Pemkab Banyuwangi bersama Jawa Pos Radar Banyuwangi meluruskan kesalahkaprahan yang selama ini terjadi. Tujuannya, minimal agar masyarakat tahu bahwa selama ini sungai yang dianggap bernama Kalilo ternyata bernama Kali Klampok. ”Perkara masyarakat tetap menyebutnya Kalilo, terserah mereka,” pungkasnya. (fre/aif/c1/bersambung)

 

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/