BANYUWANGI, Jawa Pos Radar Banyuwangi – Komunitas Banyuwangi Geographic memiliki ulasan menarik terkait Kalilo secara kultur, termasuk sosiokultur masyarakat yang tinggal di sepanjang bantaran sungai. Pertama, Sungai Kalilo disebutkan berasal dari nama sebuah pohon, yakni pohon elo. Diduga, pada masa lalu, pohon elo banyak tumbuh di sepanjang bantaran Sungai Kalilo.
Versi kedua, Kalilo berasal dari nama seorang perempuan Bali, yakni Ni Luh Lokanti, yang kala itu bertempat tinggal di pinggir sungai tersebut.

Selain dua versi tersebut, ada versi lain yang mengemuka. Versi ketiga muncul dari seorang budayawan Banyuwangi asal Blitar, yakni Aekanu Hariyanto.
Aekanu menyatakan, nama Kalilo bukan berasal dari nama sebuah pohon maupun nama orang. Kalilo berasal dari kata eluh yang dalam bahasa Jawa memiliki arti air mata. Dugaan ini dia kaitkan dengan legenda Sri Tanjung yang dibunuh oleh suaminya, lalu jasadnya dilempar ke sungai.
Aekanu menduga Sungai Kalilo memiliki hubungan erat dengan legenda Sri Tanjung dan asal-usul nama Banyuwangi. ”Saya mendengar sendiri Pak Aekanu pernah mengatakan hal itu. Kala itu pernyataannya dimuat di Jawa Pos Radar Banyuwangi tahun 2014,” ujar Ketua Komunitas Banyuwangi Geographic, Minhajul Qowim yang ikut dalam ekspedisi Susur Sungai Kalilo (Susuka).
Meski demikian, kata Qowim, berdasarkan kajian etnolinguistik yang pernah dilakukan Banyuwangi Geographic, yang lebih mendekati kebenaran dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, nama Sungai Kalilo diduga kuat berasal dari nama pohon elo.
Qowim menambahkan, kajian mengenai penamaan wilayah, termasuk sungai, gunung, dan lain-lain, dibahas pada cabang ilmu linguistik makro, yakni etnolunguistik.
Etnolunguistik adalah penggabungan ilmu linguistik dan etnologi. Pola penamaan wilayah di Banyuwangi, sejak zaman Blambangan kuno hingga kini, tidak jauh berbeda dengan pola penamaan wilayah di daerah lain di Indonesia. Misalnya berdasarkan kondisi alam, vegetasi, bangunan, dan nama orang.
Qowim berani menggaransi mengenai hasil penelitian yang dilakukan Banyuwangi Geographic bersama Balai Bahasa Jawa Timur tahun 2017 lalu. “Misalnya, karena kondisi alamnya berbukit diberi nama Gumuk. Kondisi alamnya berlembah diberi nama Lebak. Banyak pohon bambu benel diberi nama Benelan. Ada orang bernama Mas Anom, wilayahnya diberi nama Karang Anom,” beber Qowim.
Menurut Qowim, versi kedua juga masuk akal, yaitu dugaan bawah nama Kalilo berasal dari nama perempuan Bali yang tinggal di bantaran Sungai Kalilo kala itu. Namun, Qowim menyebut versi kedua ini cukup lemah. Sebab, cerita mengenai perempuan Bali bernama Luh Kanti tersebut lebih dekat kepada dongeng daripada fakta.
Hal itu dilihat dari isi cerita yang menyebutkan bahwa Luh Kanti tinggal di bantaran Sungai Kalilo pada masa perang Bayu. Sedangkan dalam sumber sejarah lain disebutkan hutan Banyuwangi (kota Banyuwangi saat ini) baru dibuka oleh Mas Alit pasca perang Bayu.
Selain itu, dalam observasi lapangan yang pernah dilakukan Banyuwangi Geographic, banyak yang mengatakan bahwa pada masa lalu sepanjang bantaran Sungai Kalilo memang banyak ditumbuhi pohon elo. ”Jika ada bukti yang menguatkan Sungai Kalilo berasal dari nama Luh Kanti, bisa jadi itu benar,” kata Qowim.
Anggota Banyuwangi Geographic, Rosi Oktaviani menyampaikan informasi bahwa ada sungai lain yang juga bernama Kalilo selain di Banyuwangi. Sungai tersebut barada di Kabupaten Magelang. Menurutnya, Sungai Kalilo yang berada di Magelang tersebut sangat terkenal karena kerap menjadi jujugan kaum spiritualis untuk melakukan semedi alias tapabrata. Apalagi, di sungai tersebut konon terdapat “banyu caruk”, yakni bertemunya dua aliran sungai besar. “Saya dengar-dengar nama Sungai Kalilo di Magelang juga berasal dari nama pohon elo,” tegasnya.
Rosi menjelaskan, nama ilmiah pohon elo adalah Ficus racemosa atau cluster fig tree. Pohon elo merupakan tanaman yang masuk ke dalam suku Moraceae. Pohon ini diperkirakan berasal dari Asia Tenggara. Elo banyak tumbuh di daerah tropis, seperti Pakistan, India, Sri Lanka, Bangladesh, Nepal, Tiongkok Selatan, dan Yunnan, Burma, dan Vietnam. Selain itu juga tumbuh di Thailand, Malaysia, Indonesia, dan Australia Utara. Di Indonesia, nama pohon elo di beberapa daerah berbeda-beda. Di Jawa disebut elo dan di Sunda disebut loa.
Selain itu ada juga yang menyebut pohon loh dengan nama pohon bodhi. Pohon bodhi adalah pohon yang disakralkan oleh umat Buddha karena Sidharta Gautama dipercaya mendapatkan pencerahan ketika berada di bawah pohon bodhi. Secara kasat mata, pohon loh mirip pohon beringin, yakni sama-sama memiliki akar tunjang. Namun, bentuk daun dan buahnya berbeda.
Tidak seperti beringin, daun elo lebar layaknya gamalina. Warna pohon mirip gamalina dan buahnya muncul dari batang pohon. Pohon elo oleh banyak kalangan dianggap sebagai pohon sakral sehingga tidak sedikit kaum spiritualis yang menanam pohon tersebut di sekitar rumahnya dan kerap dilakukan laku spiritual di bawahnya. “Memang masuk akal jika pada masa lalu Sungai Kalilo disakralkan banyak orang. Banyak yang menyebut dulu Sungai Kalilo adalah tempat semedi. Selain memang banyak banyu caruk, juga dimungkinkan karena banyak pohon bodhi yang tumbuh di sekitarnya,” timpal Rosi yang ikut bergabung dalam tim espedisi Susuka.
Rosi menambahkan, beberapa literatur yang pernah dia baca tentang botani, pohon bodhi atau elo adalah satu-satunya pohon di dunia yang mengeluarkan oksigen siang dan malam. “Umumnya, tumbuhan itu mengeluakan oksigen pada siang hari. Pada malam hari mengeluarkan karbondioksida. Namun, pohon elo katanya mengeluarkan oksigen siang dan malam. Sangat menarik kayaknya kalau pohon elo ditanam kembali di bantaran Sungai Kalilo,” kata Rosi. (fre/aif/bersambung)