Musala Al Mukasyafa di Dusun Krajan, Desa Bagorejo, Kecamatan Srono ini tempat ibadah umat Islam dengan arsitektur yang unik. Dibangun pada 1999 dengan arsitektur menyerupai kelenteng.
TIDAK jauh dari Pasar Bagorejo, ada musala yang unik. Bangunannya tidak seperti musala pada umumnya, gaya arsitekturnya sangat mirip dengan kelenteng yang biasa dibuat ibadah umat Konghucu. Itulah Musala Al Mukasyafa.
Musala dengan cat warna merah itu berada di Dusun Krajan, Desa Bagorejo, Kecamatan Srono. Tempat ibadah ini pertama didirikan warga pada 1999 oleh Kiai Joko Triyono. Saat itu, bangunannya seperti pada umumnya. “Renovasi musala dicetuskan pada 2010,” terang salah satu takmir Musala Al Mukasyafa, Enggar Purwadiyanto, 30.
Kiai Joko ini orangnya dekat dengan masyarakat dari berbagai kalangan. Juga dekat dengan orang-orang yang suka mabuk, pejudi, dan semacamnya. “Beliau (Kiai Joko) biasa mengajak mereka ke musala ini untuk dibina secara spiritual, agar kembali ke jalan yang benar,” tuturnya.
Dari sanalah, Kiai Joko kepikiran membuat musala yang punya desain adem dan tidak mengintimidasi. Dari hasil diskusi bersama santri dan masyarakat, disepakati mendirikan musala dengan arsitektur ala Tiongkok yang menyerupai kelenteng. “Kiai Joko yang mengajak renovasi musala,” jelasnya.
Renovasi musala tidak berjalan mulus. Saat itu, sempat ada sekelompok masyarakat yang mencibir bentuk dari musala yang akan dibangun. “Tapi cibiran itu perlahan sirna setelah para kiai besar di Banyuwangi memberi apresiasi,” ungkapnya.
Untuk renovasi musala ini berlangsung sekitar setahun. Dana yang dibuat untuk memperbaiki musala, dari iuran warga sekitar dan sumbangan para TKI asal Desa Bagorejo yang bekerja di luar negeri. “Banyak sumbangan dari warga,” jelasnya.
Saat renovasi musala ini usai, aktivitas di tempat ibadah yang nyeleneh ini semakin ramai. Bahkan, beberapa tokoh pendiri Masjid Besar Kabat dan Masjid Cheng-Ho di Banyuwangi juga berkonsultasi dengan Kiai Joko sebelum membangun masjid. “Mereka menanyakan dampak ke masyarakat jika masjidnya pakai arsitektur semacam ini,” terangnya.
Kiai Joko yang membesarkan kegiatan di musala ini setahun lalu meninggal. Kegiatannya masih terus berjalan. Sebanyak 30 santri yang mengaji di tempat ini setiap hari belajar di tempat itu. “Digunakan salat jamah, dalam seminggu dua kali ada pengajian,” ungkapnya.(abi)