KEPALA Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI), Penny Kusumastuti Lukito, menyebut produk jamu yang diproduksi CV Putri Husada itu mengandung bahan kimia. “Berdasarkan hasil uji terbukti mengandung Bahan Kimia Obat (BKO) Fenilbutazon,” ungkapnya, Senin (13/3).
Menurut Penny, fenilbutazon itu bahan kimia obat termasuk dalam golongan Anti-Inflamasi Non-Steroid (AINS) yang penggunaannya untuk mengatasi nyeri dan peradangan pada rematik, penyakit asam urat (gout), dan radang sendi (osteoartritis). “Bahan Kimia obat ini dilarang ditambahkan dalam obat tradisional atau jamu,” katanya.
Jika bahan kimia obat itu dimasukkan dalam produk seperti jamu, tanpa ditujukan untuk indikasi yang jelas dan dosis sesuai dengan aturan yang berlaku, dapat berisiko pada kesehatan dan menimbulkan efek samping. “Bisa menyebabkan mual, muntah, ruam kulit, serta retensi cairan dan edema seperti pendarahan lambung, nyeri lambung, dan gagal ginjal,” terangnya.
Produk jamu tawon klanceng dan pegal linu Husada dengan nomor izin edar TR 143676881 produksi CV Putri Husada, itu produk yang telah dibatalkan izin edarnya sesuai dengan Keputusan Pembatalan Persetujuan Pendaftaran Nomor HK.04.1.41.06.15.2848 pada 9 Juni 2015. “Produk ini juga telah dilarang beredar dan masuk dalam daftar public warning Nomor IN.05.03.1.43.11.15.5284 pada 30 November 2015,” ujarnya.
Kegiatan produksi di pabrik jamu tradisional ilegal itu, jelas dia, tidak tidak menerapkan Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB), terutama dari aspek higiene sanitasi. “Produk obat tradisional ini diproduksi tanpa memperhatikan aspek keamanan, khasiat, dan mutu,” cetusnya.
Berdasarkan investigasi terhadap sarana produksi obat tradisional ilegal tersebut, Penny menduga telah terjadi tindak pidana. Pertama, memproduksi dan mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memenuhi standar, dan persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 Jo pasal 98 ayat 2 dan ayat 3 Undang–Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. “Tindak kejahatan ini diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar,” tegasnya.
Tindak pidana kedua, jelas dia, memperdagangkan barang yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 62 ayat 1 Jo pasal 8 ayat 1 huruf a Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. “Tindak kejahatan ini diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2 miliar,” imbuhnya.(gas/abi)