28.5 C
Banyuwangi
Friday, June 2, 2023

Malam Bakar Ogoh-Ogoh, Siang Jadi Kampung Mati

GENTENG, Jawa Pos Radar Genteng – Puncak perayaan Hari Raya Nyepi tahun baru Saka 1945, umat Hindu di Desa Kaligondo, Kecamatan Genteng ditandai dengan mengarak ogoh-ogoh keliling kampung pada Selasa malam (21/3). Sambil membawa obor untuk penerangan dan iringan musik balaganjur, di sepanjang perjalanan menyampaikan doa-doa suci.

Setelah diarak keliling kampung, ogoh-ogoh yang diusung itu kemudian dibakar di depan Pura Natar Sari yang ada di kampung itu. Dan ini, menjadi simbol hilangnya mara bahaya dan pengaruh buruk di dunia. “Sebelum dibakar, kami melakukan upacara terlebih dahulu. Upacara itu sebelum dan setelah diarak (ogoh-ogoh),” terang sesepuh umat Hindu di Dusun Kaliwadung, Desa Kaligondo, Mujiono, 60.

Menurut Mujiono, yang dilakukan oleh umat Hindu dalam perayaan malam sebelum Nyepi itu ritual untuk menghilangkan pengaruh jahat selama catur tapa brata. “Mulai pukul 00.00, kami upacara Nyepi dengan berdiam diri di rumah atau di pura selama 24 jam,” ungkapnya.

Menurut Mujiono, di Desa Kaligondo itu ada 200 kepala keluarga (KK) lebih yang menganut agama Hindu. Mereka semua, akan melaksanakan ritual Nyepi di rumah dan kampungnya akan lengang. “Di desa kami ini ada dua pura, Pura Natar Sari dan Pura Banyu Bening,” cetusnya.

Baca Juga :  TNI Tekan Angka Stunting dan Kematian Bayi

Apa yang disampaikan tokoh Hindu itu ternyata benar, seharian Rabu (22/3), di perkampungan yang warganya banyak penganut Hindu itu sangat terasa. Perkampungan di Dusun Sumberwadung dan Dusun Kaliwadung, mendadak seperti kampung mati tanpa penghuni. “Warga saya di dua dusun itu memang banyak yang menganut Hindu,” terang kepala Desa (Kades) Kaligondo, Nur Hadi.

Setiap perayaan Nyepi, terang Nur Hadi, kondisi di dua dusun dari enam dusun yang ada di desanya itu sangat sepi. Sehingga, di dua dusun itu seperti kampung tanpa penghuni. “Warga menggelar ritual Nyepi di rumahnya,” ungkapnya.

Selama umat Hindu menggelar Nyepi, jelas dia, warga yang beragama lain menghormati dan menjaga kondusifitas. “Lihat saja, warga yang beragama lain bisa menjaga diri agar penganut Hindu tidak terganggu ibadahnya,” cetusnya.

Untuk menjaga toleransi itu, Kades mengaku telah membentuk Forum Komunikasi antar Umat Beragama. Forum ini, menjadi sarana koordinasi antar pemuka agama yang ada di desa. “Tiga pilar desa juga sering silahturahmi ke beberapa tokoh dan pemuka agama,” jelasnya.

Baca Juga :  Polisi Buru Pengirim Paket Berisi Benur

Perayaan Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1945 ini, juga dilakukan umat Hindu di Kecamatan Purwoharjo. Mereka juga mengarak ogoh-ogoh. “Ogoh-ogoh itu simbol sifat keburukan atau buto kala,” cetus pemuka agama Hindu Purwoharjo, Romo Mangku Suyadi.

Yang dibakar setelah diarak itu, terang dia, jelas dia, upaya mengembalikan harmoni alam semesta setelah hiruk-pikuk dalam kehidupan. “Patung buta kala (ogoh-ogoh) itu dibakar dalam upacara itu supaya sifat keburukan dan roh-roh jahat, sirna, umat Hindu bisa melaksanakan catur brata penyepian dengan baik,” terangnya.

Dalam menjalankan catur brata penyepian itu, jelas dia, umat Hindu tidak melakukan kegiatan apapun seperti amati geni (dilarang menghidupkan api), amati karya (dilarang bekerja), amati lelungan (dilarangan bepergian) dan amati lelanguan (dilarang mengadakan hiburan) selama sehari semalam,” katanya.(sas/gas/abi)

 

 

GENTENG, Jawa Pos Radar Genteng – Puncak perayaan Hari Raya Nyepi tahun baru Saka 1945, umat Hindu di Desa Kaligondo, Kecamatan Genteng ditandai dengan mengarak ogoh-ogoh keliling kampung pada Selasa malam (21/3). Sambil membawa obor untuk penerangan dan iringan musik balaganjur, di sepanjang perjalanan menyampaikan doa-doa suci.

Setelah diarak keliling kampung, ogoh-ogoh yang diusung itu kemudian dibakar di depan Pura Natar Sari yang ada di kampung itu. Dan ini, menjadi simbol hilangnya mara bahaya dan pengaruh buruk di dunia. “Sebelum dibakar, kami melakukan upacara terlebih dahulu. Upacara itu sebelum dan setelah diarak (ogoh-ogoh),” terang sesepuh umat Hindu di Dusun Kaliwadung, Desa Kaligondo, Mujiono, 60.

Menurut Mujiono, yang dilakukan oleh umat Hindu dalam perayaan malam sebelum Nyepi itu ritual untuk menghilangkan pengaruh jahat selama catur tapa brata. “Mulai pukul 00.00, kami upacara Nyepi dengan berdiam diri di rumah atau di pura selama 24 jam,” ungkapnya.

Menurut Mujiono, di Desa Kaligondo itu ada 200 kepala keluarga (KK) lebih yang menganut agama Hindu. Mereka semua, akan melaksanakan ritual Nyepi di rumah dan kampungnya akan lengang. “Di desa kami ini ada dua pura, Pura Natar Sari dan Pura Banyu Bening,” cetusnya.

Baca Juga :  Janji Dinikahi Malah Ditinggal Kabur

Apa yang disampaikan tokoh Hindu itu ternyata benar, seharian Rabu (22/3), di perkampungan yang warganya banyak penganut Hindu itu sangat terasa. Perkampungan di Dusun Sumberwadung dan Dusun Kaliwadung, mendadak seperti kampung mati tanpa penghuni. “Warga saya di dua dusun itu memang banyak yang menganut Hindu,” terang kepala Desa (Kades) Kaligondo, Nur Hadi.

Setiap perayaan Nyepi, terang Nur Hadi, kondisi di dua dusun dari enam dusun yang ada di desanya itu sangat sepi. Sehingga, di dua dusun itu seperti kampung tanpa penghuni. “Warga menggelar ritual Nyepi di rumahnya,” ungkapnya.

Selama umat Hindu menggelar Nyepi, jelas dia, warga yang beragama lain menghormati dan menjaga kondusifitas. “Lihat saja, warga yang beragama lain bisa menjaga diri agar penganut Hindu tidak terganggu ibadahnya,” cetusnya.

Untuk menjaga toleransi itu, Kades mengaku telah membentuk Forum Komunikasi antar Umat Beragama. Forum ini, menjadi sarana koordinasi antar pemuka agama yang ada di desa. “Tiga pilar desa juga sering silahturahmi ke beberapa tokoh dan pemuka agama,” jelasnya.

Baca Juga :  Sakit, Warga Mojokerto Diturunkan dari Bus Wisata

Perayaan Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1945 ini, juga dilakukan umat Hindu di Kecamatan Purwoharjo. Mereka juga mengarak ogoh-ogoh. “Ogoh-ogoh itu simbol sifat keburukan atau buto kala,” cetus pemuka agama Hindu Purwoharjo, Romo Mangku Suyadi.

Yang dibakar setelah diarak itu, terang dia, jelas dia, upaya mengembalikan harmoni alam semesta setelah hiruk-pikuk dalam kehidupan. “Patung buta kala (ogoh-ogoh) itu dibakar dalam upacara itu supaya sifat keburukan dan roh-roh jahat, sirna, umat Hindu bisa melaksanakan catur brata penyepian dengan baik,” terangnya.

Dalam menjalankan catur brata penyepian itu, jelas dia, umat Hindu tidak melakukan kegiatan apapun seperti amati geni (dilarang menghidupkan api), amati karya (dilarang bekerja), amati lelungan (dilarangan bepergian) dan amati lelanguan (dilarang mengadakan hiburan) selama sehari semalam,” katanya.(sas/gas/abi)

 

 

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/