BANYUWANGI– Kasus tenggelamnya Kapal Motor Penumpang (KMP) Yunicee yang menyeret tiga orang terdakwa memasuki babak baru dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Banyuwangi, Jumat (31/12). Ketiga terdakwa adalah Indra Saputra (nakhoda), Nur Tjahyo Widodo (Kepala Cabang KMP Yunicee), dan Rocky Marthen Surentu selaku Syahbandar Korsatpel BPTD Pelabuhan Ketapang.
Indra Saputra dituntut paling tinggi, yaitu tujuh tahun penjara dengan denda Rp 1 miliar subsider enam bulan penjara. Dua terdakwa lainnya, yaitu Nur Tjahyo Widodo dan Rocky Marthen Surentu dituntut hanya empat tahun penjara dan denda masing-masing sebesar Rp 1 miliar subsider enam bulan. Ketiganya dikenakan pasal 302 Undang-Undang Pelayanan. Mereka dianggap bertanggung jawab terkait overload muatan KMP Yunicee yang melebihi kapasitas hingga 229,9 ton. Padahal, muatan maksimal kapal hanya 35 ton.
Overkapasitas ini mengakibatkan kapal tenggelam hingga merenggut nyawa 27 orang penumpang dan 17 orang masih belum ditemukan. ”Ketiganya terbukti bersalah atas tenggelamnya KMP Yunicce yang mengangkut 25 unit kendaraan berbagai jenis sehingga mengakibatkan overload,” beber Andreanto.
Andre mengatakan, ketiganya sama-sama dikenakan pasal pasal 302 ayat 3 UU RI Nomor 17 Tahun 2006 tentang Pelayaran jo pasal 56 ayat 2 KUHP. Tuntutan paling tinggi dikenakan kepada nakhoda KMP Yunicce. Nakhoda dianggap sebagai yang paling bertanggungjawab karena mengangkut muatan melebihi tonase.
Kapal tersebut mengangkut puluhan kendaraan tersebut, terdiri 2 unit sepeda motor, 1 unit truk mini roda empat, 17 unit truk sedang roda enam, dan lima unit mobil pribadi. ”Dari puluhan kendaraan tersebut, hanya empat kendaraan yang dilakukan pengikatan (lashing) dan tidak dilakukan klem roda kendaraan,” papar Andreanto.
Seharusnya, nakhoda kapal melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan Permenhub RI Nomor PM 30 Tahun 2016 tentang kewajiban pengikatan kendaraan pada kapal angkutan penyeberangan. ”Nakhoda juga tidak melaporkan keadaan tersebut kepada syahbandar atau Balai Pengelola Transportasi yang akan menerbitkan surat persetujuan berlayar, sehingga bertentangan dengan Permenhub tersebut,” terangnya.
Sedangkan untuk Kepala Cabang KMP Yunicce dianggap tidak melakukan tugasnya dengan melakukan pembekalan kepada para nakhoda kapal dan pengurusan surat-surat tertentu untuk berlayar. Penanggung jawab surat, yaitu Syahbandar Korsatpel BPTD Pelabuhan Ketapang, tidak melakukan pemeriksaan administrasi hingga validasi surat dan dokumen kapal.
”Tuntutan tersebut sebenarnya tidak sebanding dengan hilangnya puluhan nyawa dan kerugian material yang besarnya mencapai Rp 19 miliar,” jelasnya.
Kuasa hukum Rocky Marthen Surentu, Ronal Armada mengatakan, meski kliennya dianggap bersalah akibat kelalaian dalam menjalankan tugas dan fungsinya, unsur yang dilakukan tidak masuk pidana. ”Harusnya tidak masuk unsur pidana, sesuai Peraturan Pemerintah (PP) 9 tahun 2019 tentang pemeriksaan kecelakaan kapal sesuai aturan turunan Undang-Undang (UU) 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran,” terangnya.
Seharusnya, jelas Ronal, pihak syahbandar bukanlah yang bertanggung jawab atas tenggelamnya kapal. Jika terjadi kecelakaan, syahbandar seharusnya memiliki kewenangan melakukan pemeriksaan bersama penyidik aparat penegak hukum (APH). ”Sesuai UU tentang pelayaran, sebenarnya memberikan kewenangan kepada syahbandar untuk menjadi penyidik pegawai negeri sipil,” terangnya.
Ronal menjelaskan, ketika terjadi kecelakaan, syahbandar memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan dan mencari penyebab-penyebab terjadinya kecelakaan. Dari hasil pemeriksaan tersebut, barulah diserahkan kepada penyidik. ”Kami akan berusaha melakukan pembelaan dalam persidangan lantaran klien kami murni tidak bersalah,” jelasnya.
Kasus tenggelamnya kapal KMP Yunicce menyeret tiga orang terdakwa. Mereka adalah Indra Saputra (nakhoda), Nur Tjahyo Widodo (Kepala Cabang KMP Yunicee), dan Rocky Marthen Surentu selaku Syahbandar Korsatpel BPTD Pelabuhan Ketapang. Ketiganya saling bersaksi terkait overload muatan KMP Yunicee yang melebihi kapasitas hingga 229,9 ton. Seharusnya batas maksimal muatan kapal hanya 35 ton. Ketiganya harus bertanggung jawab atas tenggelamnya kapal di Selat Bali pada 29 Juni 2021 lalu. Kecelakaan tersebut mengakibatkan 27 orang meninggal dan 17 orang dinyatakan hilang.